Tiga tahun sudah Ferianus Rotte mengabdikan dirinya untuk menjaga ekosistem pesisir dan laut.
Sehari-harinya, Fer, sapaan akrabnya, bekerja sebagai nelayan dan menanam rumput laut. Selain itu, ia juga didapuk sebagai manaholo, wali setempat yang bertugas mengelola atau mengawasi sistem adat bermakna konservasi yang disebut hoholok/papadak.
Hoholok/papadak merupakan kearifan lokal di Rote, pulau yang secara administratif menjadi bagian dari Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Pada awalnya, aturan ini diterapkan untuk mengelola tanaman dan perkebunan berbasis lahan. Kini aturan hoholok/papadak itu diterapkan untuk konservasi laut.
Fer dan rekan-rekan sesama manaholo menjalankan tugasnya untuk mengamankan pesisir dan laut di Nusak Landu – satuan adat genealogis yang digunakan sebagai sistem pemerintahan formal di Rote hingga tahun 1960-an sebelum akhirnya menjadi kecamatan.
“Waktu itu ada acara dengan LSM, saya dan tujuh orang dipilih menjadi manaholo tahun 2014. Kemudian tahun 2017 kami dikukuhkan sebagai Manaholo Nusak Landu,” ujar pria berpostur tinggi kurus tersebut.
Ditemani semilir angin, pembicaraan dengan Fer mengalir di teras rumahnya.
Fer bercerita mengenai kondisi laut di wilayah desanya yang rusak sebelum ada manaholo. Penyebabnya adalah banyak orang dari luar desa yang datang dengan kapal dan melakukan kegiatan yang merusak.
“Mereka membom ikan, meracun dengan akar-akaran, potasium, dan tuba,” katanya.
Menurut penuturannya, orang-orang itu juga mengambil teripang secara berlebihan dan memburu penyu serta mengambil telurnya.
Mirisnya, Fer dan masyarakat Desa Sotimori-lah yang harus menelan pil pahit akibat ulah orang-orang tersebut. Karena laut rusak, masyarakat desa tidak punya tempat untuk budidaya rumput laut dan kesulitan untuk mencari ikan.
“Laut untuk tempat budidaya rumput laut jadi rusak. Ikan-ikan juga jadi susah dicari, harus pergi ke tempat yang jauh baru dapat. Teripang juga begitu, susah kami dapat,” ujarnya.
Kabar baiknya, setelah dibentuk manaholo, lingkungan laut di Desa Sotimori mulai membaik. Masyarakat tidak terlalu kesulitan mencari ikan dan bisa menikmati hasil budidaya rumput laut.
Sayangnya, kinerja para penjaga laut ini belum bisa maksimal. Salah satunya karena tak dibarengi fasilitas yang cukup. Kapal cepat dan peralatan lain yang dibutuhkan dalam menjalankan fungsi pengawasan tidak tersedia. Apalagi, jika harus berhadapan dengan kapal-kapal nakal bermesin besar milik nelayan luar.
“Mereka tangkap banyak ikan pakai kapal mesin besar, kita jarang yang punya kapal mesin, hanya pakai sampan. Kita baru mau kejar, mereka sudah kabur duluan,” jelas Fer.
Meski mengalami kesulitan, tekadnya untuk menjaga laut tidak sirna. Dukungan dari pemerintah maupun LSM untuk manaholo ia harapkan demi keamanan dan kelestarian laut, khususnya di wilayah Sotimori, Nusak Landu.