Dua tahun belakangan, dunia lingkungan dan kehutanan diperkenalkan dengan istilah FOLU Net Sink. Nama lengkapnya: FOLU Net Carbon Sink 2030. Istilah ini mulai dipopulerkan oleh Bu Menteri LHK Siti Nurbaya melalui cuitannya di media sosial, menyebutkan bahwa FOLU Net Sink sebagai strategi mengendalikan perubahan iklim.
Tapi masih banyak yang belum familiar dengan FOLU. Apa sih FOLU Net Sink itu?
Awal mulanya muncul istilah FOLU Net Sink adalah saat berbagai negara di dunia, mulai dari negara maju, berkembang, hingga terbelakang, menyepakati untuk menjaga suhu atmosfer Bumi tidak lebih dari 1,5oC sejak pra industri. Kemudian sebanyak 195 negara peserta Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim alias UNFCCC— termasuk Indonesia, meratifikasi konvensi tersebut dan Paris Agreement untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Indonesia berkomitmen mendukung tujuan tersebut dengan mengajukan proposal penurunan emisi melalui dua cara: 29% dari program-program rutin Business as Usual (BAU), atau 41% dengan bantuan internasional.
Persentase tersebut mengacu pada produksi emisi nasional pada 2030 sebanyak 2.869 miliar ton setara CO2. Sebagai gambaran, emisi sebanyak ini setara dengan emisi yang dihasilkan 900 juta mobil yang berjalan 19.000 kilometer selama setahun.
Forestry and Other Land Uses (FOLU) atau pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan adalah salah satu dari lima sektor program mitigasi krisis iklim dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).
Pada 2030, sektor ini akan menghasilkan emisi sebanyak 714 juta ton setara CO2. Pembangunan rendah karbon akan mengurangi emisi sebanyak 17,2% dalam skenario penurunan emisi 29% dan 24,5% dalam skenario 41%.
Jadi, yang dimaksud dengan FOLU Net Sink atau lengkapnya FOLU Carbon Net Sink adalah kondisi penyerapan karbon bersih— yaitu jumlah penyerapan emisi karbon yang lebih banyak dari yang dilepaskannya— dalam sektor kehutanan dan lahan.
Mengapa CO2? Di antara lima gas rumah kaca lainnya, karbondioksida (CO2) adalah yang terbanyak jumlahnya di atmosfer. Namun, faktor penyebab pemanasan globalnya paling sedikit. Karenanya, CO2 jadi satuan standar menghitung emisi karbon. Dalam negosiasi mitigasi iklim, seperti COP26 Glasgow, penyerapan CO2 dari atmosfer dikenal dengan istilah karbon negatif.
Jumlah karbon dioksida di atmosfer melonjak dari 280 part per million (ppm) selama 10.000 tahun lalu menjadi 414,4 ppm pada akhir tahun lalu, yang menaikkan suhu 1,16oC dalam tiga abad terakhir. Pemicu utama kenaikan konsentrasi gas rumah kaca ini terjadi setelah manusia menemukan mesin uap dan batu bara sebagai bahan bakar setelah Revolusi Industri di Eropa pada 1750.
Untuk mencapai FOLU net sink 2030, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan beberapa strategi, di antaranya restorasi rawa gambut 2 juta hektare hingga 2030, reforestasi, menggenjot pengelolaan hutan lestari melalui perizinan berusaha, hingga mencegah deforestasi dan degradasi lahan dan hutan.
Referensi:
Forest Digest. 2021. Apa Itu FOLU Net Sink https://www.forestdigest.com/detail/1411/folu-net-sink
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2021. Forestry and Other Land Use-FoLU Net Sink Carbon Sink 2030: Terobosan Berani Indonesia di Tenga Desakan Pembangunan Ekonominya. https://bsilhk.menlhk.go.id/index.php/2021/11/11/forestry-and-other-land-use-folu-net-carbon-sink-2030-terobosan-berani-indonesia-di-tengah-desakan-pembangunan-ekonominya/