Bukan, ini bukan tulisan biografi. Alih-alih nama seseorang, YONO di sini adalah singkatan dari You Only Need One, sebuah gaya hidup yang perlahan muncul sebagai perlawanan terhadap dunia yang terus-menerus mendorong kita untuk memiliki, membeli, dan menginginkan lebih. Kalau kamu belum akrab dengan istilah ini, mungkin kamu lebih dulu kenal dengan sepupunya yang lebih populer: YOLO, alias You Only Live Once.
Hidup memang cuma sekali, iya kan? Atas dasar itu, filosofi YOLO mengajak kita untuk mengejar pengalaman, memuaskan keinginan, dan membeli apa pun yang kita mau. Karena hidup cuma sekali, katanya, semuanya harus dinikmati sekarang juga. Tak ada waktu untuk menunda, apalagi merasa cukup.
Masalahnya, ketika ‘menikmati hidup’ diterjemahkan menjadi konsumsi tanpa henti, YOLO bisa berubah dari dorongan hidup yang positif menjadi gaya hidup yang melelahkan. Melelahkan diri kita sendiri, maupun bagi planet ini.
Takut Ketinggalan
Mari berkenalan dengan istilah lain, yang mungkin lebih sering terdengar. FOMO, atau Fear of Missing Out. Ini bukan cuma soal ikut tren, tapi dorongan psikologis yang membuat kita merasa kurang kalau tidak mengikuti arus. Gaya berpakaian baru, gawai keluaran terbaru, sampai tren media sosial yang berubah tiap minggu, semuanya menciptakan tekanan tak kasat mata untuk terus mengikuti. Kita seakan dituntut untuk selalu ikut serta, dan merasa cemas bila tidak mampu mengimbanginya.
Di dunia yang tak henti berjualan hari ini, kapitalisme bikin hidup kita kejar-kejaran. Diskon besar-besaran, iklan yang selalu bilang ‘belum trendy kalau belum punya ini,’ hingga algoritma yang tahu persis semua cara untuk meracuni kita. Tanpa sadar, kita terus membeli bukan karena perlu, tapi karena merasa harus.
Konsumerisme tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga menimbulkan beban besar bagi lingkungan. Salah satu industri yang paling mencolok dalam hal ini adalah industri fast fashion, yang mendorong siklus produksi dan konsumsi pakaian dalam waktu singkat. Dalam beberapa dekade terakhir, penjualan pakaian secara global telah meningkat drastis, melonjak dua kali lipat dari sekitar 100 miliar menjadi 200 miliar unit per tahun. Ironisnya, meskipun jumlah pakaian yang kita miliki bertambah, waktu pemakaian rata-rata setiap item justru menurun hingga 36 persen. Artinya, kita membeli lebih banyak, tetapi memakainya lebih sedikit.
Akibatnya, limbah pakaian menumpuk dalam jumlah yang mengkhawatirkan. Setiap tahunnya, sekitar 92 juta ton limbah tekstil dibuang, menciptakan gunungan sampah yang sering kali tidak bisa terurai dan sulit didaur ulang. Industri fesyen pun kini tercatat sebagai pencemar industri terbesar kedua di dunia, menyumbang sekitar 10 persen dari total polusi global. Angka ini bahkan melebihi gabungan emisi dari sektor penerbangan dan transportasi laut. Semua ini menunjukkan bahwa setiap keputusan belanja kita, sekecil apa pun, berkontribusi langsung terhadap tekanan yang harus ditanggung oleh bumi. Semakin banyak kita membeli tanpa memikirkan kebutuhan nyata, semakin besar pula jejak ekologis yang kita tinggalkan.
Jebakan “Eco-Friendly”
Tren ramah lingkungan pun kini mulai dipakai sebagai gaya hidup baru—tapi tidak selalu benar-benar berdampak baik. Contohnya penggunaan tumbler.
Punya tumbler memang kesannya ramah lingkungan. Tapi kalau kita terus membeli tumbler hanya karena model baru, warna baru, atau kolaborasi terbaru, kita sebenarnya sedang terjebak dalam pola konsumsi yang sama. Kita membeli produk ramah lingkungan, tapi tidak benar-benar menyelamatkan lingkungan.
Kalau kita beli lima tumbler dan masing-masing hanya dipakai beberapa kali, itu sama buruknya (atau bahkan lebih buruk!) daripada memakai botol plastik sekali pakai. Studi oleh Changwichan & Gheewala (2020) menunjukkan bahwa tumbler stainless steel baru akan menyeimbangi emisi karbon satu gelas plastik sekali pakai setelah digunakan minimal 140 kali. Kalau kita beli tumbler baru, maka kompensasi emisinya harus ditambah 140 kali lagi. Bayangkan kalau kamu beli lebih banyak tumbler lagi!
Oleh karena itu, pendekatan life cycle thinking menjadi sangat penting. Life cycle thinking adalah cara berpikir menyeluruh yang mempertimbangkan siklus hidup sebuah produk. Mulai dari tahap produksi, distribusi, konsumsi, hingga ke tahap akhir yaitu koleksi limbah dan daur ulang. Pendekatan ini membantu kita melihat bahwa dampak lingkungan tidak berhenti saat produk dibeli, dan tidak otomatis berkurang hanya karena ada label “eco”.
Bentuk YONO dalam Kehidupan Sehari-hari
Hidup dengan prinsip YONO bukan berarti kita anti-kemajuan atau menolak kesenangan. Sebaliknya, YONO mengajak kita untuk lebih sadar dan selektif dalam memilih apa yang benar-benar kita butuhkan. Ini bukan tentang membatasi diri, melainkan tentang membebaskan diri dari dorongan untuk selalu memiliki lebih banyak.
Beberapa contoh sederhana penerapan YONO dalam kehidupan sehari-hari:
- Satu jaket yang awet dan berkualitas lebih baik daripada lima jaket murah yang cepat rusak dan hanya mengikuti tren.
- Satu pasang sepatu netral yang nyaman dan cocok untuk banyak acara lebih bernilai daripada sepuluh pasang yang hanya cocok dipakai sesekali.
- Satu tumbler yang dipakai setiap hari lebih ramah lingkungan daripada koleksi tumbler yang hanya dipakai seminggu sekali.
- Satu gawai yang dirawat dan dimaksimalkan penggunaannya lebih bijak daripada selalu tergoda membeli model terbaru setiap tahun.
YONO bukan tentang hidup serba minimalis ekstrem, tapi soal kesadaran akan fungsi, nilai, dan keberlanjutan. Kita diajak untuk berhenti sejenak sebelum membeli sesuatu yang baru. Tanyakan pada diri sendiri: “Apakah aku benar-benar butuh ini?” atau “Apakah barang yang kupunya sekarang masih bisa digunakan?”
Sebelum membeli lagi, pertimbangkan juga untuk memperbaiki yang lama. Sepatu yang sol-nya aus bisa direparasi. Gawai yang melambat mungkin hanya perlu dibersihkan atau diganti baterainya. Dengan cara ini, kita tidak hanya mengurangi limbah, tapi juga menghargai apa yang sudah kita punya.
Karena pada akhirnya, cukup bukan berarti kekurangan. Cukup berarti tahu kapan berhenti. Dan tahu kapan berhenti, adalah bentuk kebijaksanaan yang paling tenang di dunia yang selalu meminta lebih.
Sumber
DetikBali. (2024). Jadi antitesis FOMO dan YOLO, apa itu YONO? Detik.com. https://www.detik.com/bali/berita/d-7735650/jadi-antitesis-fomo-dan-yolo-apa-itu-yono
Finansialku. (2023). Gaya hidup YONO: You Only Need One, bukan anti kemajuan. Finansialku.com. https://www.finansialku.com/lifestyle/gaya-hidup-yono/
Manila Standard. (2024). Tumbler blunder: When better becomes clutter. Manila Standard. https://manilastandard.net/business/314591541/tumbler-blunder-when-better-becomes-clutter.html
EARTH.ORG. (2022)The 10 Essential Fast Fashion Statistics. earth.org. https://earth.org/fast-fashion-statistics/
VOI. (2024). YOLO’s lifestyle now turns to YONO, what does it mean? VOI.id. https://voi.id/en/lifestyle/449684