Tradisi Sasi dan Kabus di Raja Ampat

Sasi adalah tradisi atau aturan tidak tertulis masyarakat adat yang melarang penangkapan hewan laut dalam waktu tertentu. Larangan untuk menangkap ikan atau hewan laut itu berlangsung sekitar beberapa bulan. Setelah ditutup dalam waktu tertentu, barulah masyarakat diperbolehkan menangkap ikan bersama-sama. Kegiatan ini sering disebut dengan masa panen ikan dan hasil laut lainnya. Biasanya, panen tidak lebih dari satu bulan (Tanaya dalam Dikimara, 2017). Sehingga, sasi bisa dikatakan sebagai upaya konservasi tradisional.

Shiffa dan Chafid (2016) menjelaskan, masyarakat percaya bila melanggar kesepakatan, Tuhan akan memberikan bencana, penyakit, dan sebagainya. Beberapa daerah di Raja Ampat, Papua Barat Daya (dulu Papua Barat), yang menerapkan adat sasi seperti Pulau Waigeo, Pulau Batanta, Pulau Salawati, Pulau Misool, Wayag, Mansuar, Arborek, dan beberapa daerah lainnya. Masyarakat menerapkan sistem sasi bagi komoditas perikanan, yaitu lola, lobster, dan teripang. Selama masa sasi, penangkapan tidak diperbolehkan. Sasi bisa berlangsung 3, 6, atau 24 bulan sesuai ketentuan adat, dan biasanya pada waktu musim ombak.

Penerapan sasi ada dua macam, bergantung keadaan, waktu, dan kebutuhan. Ada sasi yang disengaja, dan yang tak disengaja.

  1. Sasi yang disengaja diberlakukan setelah melihat hasil laut yang diperoleh kian berkurang dan sumber-sumber pendapatan untuk keluarga makin sulit. Karena itu, sasi jenis ini untuk memberi kesempatan biota laut beregenerasi agar hasilnya bertambah.
  2. Sasi yang tidak disengaja karena gejala alam yang tak memungkinkan bekerja di laut, seperti musim angin kencang panjang—selama 3-6 bulan—sehingga kepala adat mengumumkan keadaan tersebut dengan sasi. Sasi baru dibuka setelah musim angin berlalu.

Sementara, sasi atas wilayah laut terbagi dua:

  1. Sasi bersyarat: diberlakukan pada salah satu biota laut pada satu wilayah laut tertentu. Namun, bila hendak melaksanakan perhelatan penting, seperti upacara keagamaan, perkawinan, masyarakat diperbolehkan mengambil biota laut yang disasi.
  2. Sasi tanpa syarat: larangan selama sasi belum dicabut. Selain itu, ada juga sasi yang berlangsung sepanjang masa. Sasi ini dilakukan pada wilayah tertentu yang diyakini sebagai cagar budaya. Diyakini, pelanggar sasi biasanya berakhir dengan malapetaka tanpa sebab (Yulianti, 2013).

 Wayag menjadi salah satu wilayah yang disasi pada waktu-waktu tertentu. Tempat ini juga menjadi destinasi wisata unggulan di Raja Ampat.

Wayag menjadi salah satu wilayah yang disasi pada waktu-waktu tertentu. Area yang terkenal dengan gugusan karst yang menyembul dari lautan ini juga menjadi destinasi wisata unggulan di Raja Ampat.

Yulianti dalam Shiffa dan Chafid (2016) menerangkan sasi diawali dengan upacara adat yang dipimpin kepala adat. Upacara ini biasanya selama 1-7 hari. Upacara diawali penyerahan dan penetapan alat-alat penandaan. Selanjutnya, tonggak tanda batas, seperti pelampung, bendera, dan jangkar diarak dengan grup suling tambur untuk memberitahu masyarakat tanda-tanda di daerah yang akan disasi. Pengumuman ini agar masyarakat tak melanggar di wilayah yang disasi.

Dalam upacara ini diletakkan batang pohon berhias ukiran, potongan-potongan kain, daun-daun yang dianyam menyerupai hewan-hewan laut, dan buah bakau yang diletakkan di tempat yang disasi. Setelah upacara selesai, tanda batas lantas dipancangkan di lokasi sasi. Tonggak itu oleh masyarakat dikenal dengan nama go samson atau kayu yang dimuliakan.

Perlengkapan upacara lainnya yaitu tujuh piring nasi kuning, tujuh butir telur, tujuh bungkus papeda berbiji, tembakau yang digulung dengan daun nipah, pinang sirih, dan kapur masing-masing tujuh tempat. Perlengkapan ini sebagian dilarung ke laut dan sebagian di bibir pantai sebagai persembahan kepada penjaga laut.

Sementara, pada saat “rajaha” juga dilakukan upacara memotong ayam putih, yang kemudian diikat di lokasi sasi. Untuk mencegah pencurian, hobatan yang berbentuk cairan atau daun-daun yang diisi botol kecil digantungkan di tiang kayu di lokasi sasi. Hobatan ini disertai pembacaan mantra. Pemasangan rajaha berlangsung selama sasi berjalan. Bila sasi berakhir, rajaha dicabut. Pencabutan rajaha biasanya tak disertai upacara, hanya pemberitahuan kepada masyarakat. Pemberitahuan penutupan dan pembukaan sasi penting karena pelanggaran sasi dapat mengakibatkan cacat atau meninggal.

Lebih lanjut, Prasetya dalam Shiffa dan Chafid (2016) menjelaskan jenis-jenis biota laut yang disasi bisa berupa ikan, lobster, teripang, kerang, lola. Sasi juga dikenal dengan zona larangan tangkap (no take zone) dengan ketetapan yang disepakati masyarakat (Prasetya, 2013).

Selain itu, ada sasi adat dan sasi gereja. Sasi adat dilaksanakan pemimpin adat dengan mantra adat dengan perantara—rokok, sirih pinang, dan kapur. Sedangkan sasi gereja, pelaksanaannya dilakukan di dalam gereja, didoakan, lalu diumumkan dalam ibadah minggu gereja (Dikimara, 2017).

 

Sebelum Sasi, Ada Kabus

Menurut buku “Budaya Sasi di Warsambin”, awalnya masyarakat suku Maya di Raja Ampat tidak mengenal istilah sasi. Masyarakat Maya hanya mengenal istilah kabrut yang lambat laun diucapkan menjadi kabus. Pada prinsipnya, makna kabus dan sasi sama: melindungi sumber daya alam milik perseorangan atau klan.

Kabus dalam suku Maya adalah larangan pengambilan sumber daya laut maupun darat untuk memberikan kesempatan tumbuhan dan hewan berkembang. Kabus dilakukan dengan cara menempelkan sebuah cerita mistis dalam aturan larangan. Larangan tersebut bisa berdasarkan tumbuhan maupun hewan, atau berdasarkan luasan area.

Larangan disertai cerita mistis dengan harapan menjaga kepatuhan masyarakat untuk menaati kabus di wilayah tertentu. Daerah-daerah yang memiliki aturan kabus biasanya disebut daerah sakral atau pamali. Hal itu untuk memastikan daerah itu terhindar dari aktivitas manusia. Jika ada yang melanggar kabus, dilakukan pengadilan adat dengan memanggil pihak pelanggar dan pihak pemasang kabus. Kepala adat berperan sebagai penengah, dan memutuskan denda. Satuan sanksi adat di Mutus disebut geras yang setara dengan lima piring makan.

Istilah kabus kemudian berubah menjadi sasi, yang pertama kali dikenalkan tokoh agama. Awalnya, masyarakat Raja Ampat tidak mengenal agama atau animisme. Namun, sekitar tahun 1955, agama Kristen dibawa misionaris dari Maluku. Mulanya, misionaris mendiami Pulau Yefkabu. Kemudian Perang Dunia Kedua memaksa masyarakat Pulau Yefkabu berpencar mencari tempat tinggal baru. Sejak itulah muncul kampung–kampung di sekitar Kepulauan Raja Ampat.

Dalam perkembangannya, tokoh agama menghapus kabus untuk menghindari adanya penyembahan kepada selain Tuhan. Namun penghapusan ini berdampak pada eksploitasi sumber daya di wilayah yang dulu dikabus. Lokasi-lokasi yang sebelumnya terlindung dari aktivitas manusia menjadi terbuka sehingga mengancam kelestarian di wilayah tersebut. 

Lambat laun perilaku itu mulai mengkhawatirkan masyarakat dan tokoh gereja. Akhirnya, diperkenalkanlah sasi sebagai cara untuk mengatur pemanfaatan dan menjaga sumber daya alam, dengan syarat wilayah itu tidak menjadi tempat penyembahan.

Scroll to Top