Right to Repair, Sampah Teknologi, dan Ketidakadilan Lingkungan

Right to Repair sedang ramai dibicarakan. Beberapa tahun belakangan, produsen gawai dan barang elektronik kian membatasi pengguna dari kesempatan memperbaiki produk yang mereka beli. Di banyak kasus, saat layar ponsel pecah atau baterai laptop mulai soak, kita lebih disarankan untuk membeli yang baru ketimbang memperbaikinya. Bukan karena kerusakannya mustahil diperbaiki, tapi desain dan sistem gawai yang kita pakai memang dirancang seperti itu.

Sejumlah negara di Eropa dan Amerika Utara mulai mengambil langkah. Mereka mendorong aturan yang menjamin hak konsumen untuk memperbaiki barangnya sendiri. Mulai dari ketersediaan suku cadang, kemudahan desain produk untuk dibongkar-pasang, hingga keterbukaan panduan teknis dari produsen.

Namun di Indonesia, istilah Right to Repair belum terlalu dikenal. Isunya nyaris tak muncul dalam wacana publik. Padahal, Indonesia tidak sekadar terdampak, tapi justru menjadi bagian penting dalam rantai industri teknologi global. Sejak hulu hingga hilir, sistem yang menopang gaya hidup teknologi global telah menciptakan berbagai bentuk ketimpangan di negeri ini.

Mimpi Besar Hilirisasi

Indonesia menyimpan cadangan sumber daya alam yang luar biasa besar. Nikel di Sulawesi dan Maluku Utara, timah di di pulau Bangka dan Belitung, hingga emas yang begitu banyak di Papua—semuanya menjadi incaran industri global, terutama sebagai bahan baku utama produk elektronik. Baterai ponsel, laptop, bahkan mobil listrik, tak bisa dibuat tanpa material dari tanah air kita.

Sebagai negara yang kaya sumber daya, mudah membayangkan betapa makmurnya kita. Masyarakat di sekitar tambang tentu saja hidup sejahtera. Namun kenyataannya tak sesederhana itu.

Alih-alih berkecukupan, banyak komunitas lokal di wilayah tambang justru kehilangan akses terhadap lahan, air bersih, bahkan udara layak. Meskipun pemerintah semakin gencar mendorong hilirisasi, manfaat ekonominya masih minim sekali bagi masyarakat lokal. Di Morowali, Sulawesi Tengah, misalnya, WALHI mencatat rentetan konflik agraria. Warga adat didesak untuk pindah, lahan mereka tercemar limbah smelter, bahkan beberapa di antaranya dikriminalisasi ketika menuntut hak ulang atas tanahnya . Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, hilirisasi kerap memperkuat posisi korporasi besar, sementara masyarakat menjadi korban dalam rantai hirarki yang tidak adil.

Tidak hanya itu, eksploitasi sumber daya untuk industri teknologi juga berpotensi mencederai lingkungan. Tren global menuju mobil listrik dan energi terbarukan sering dilekatkan pada bahan baku ‘hijau,’ yaitu nikel untuk baterai lithium-ion. Ironisnya, Mongabay melaporkan bahwa pada  tahun 2022 produksi nikel Indonesia melonjak 60 %, menyumbang setengah produksi nikel dunia. Untuk menopang fasilitas smelter tersebut, pemerintah membangun 13 gigawatt pembangkit batu bara yang hanya memasok listrik ke industri tersebut, bukan ke jaringan publik. Dengan demikian, jejak karbon yang dihasilkan justru semakin besar, bertolak belakang dengan citra hijau yang selama ini dibangga-banggakan.

Bangkai Teknologi yang Pulang ke Rahim Ibunya

Setelah bahan mentah diekspor keluar negeri dan diolah menjadi gawai canggih, barang-barang tersebut dijual ke pasar global, termasuk ke Indonesia. Namun daur hidupnya tidak berakhir di sana.

Setelah rusak dan tak bisa diperbaiki, barang-barang ini menjadi sampah elektronik atau E-Waste. Indonesia sendiri menghasilkan lebih dari 1,6 juta ton E-Waste pada tahun 2020, menurut laporan Global E-Waste Monitor. Sayangnya, sistem pengelolaan limbah elektronik kita belum cukup kuat. Banyak dari sampah ini akhirnya berakhir di TPA, atau yang lebih parah, diproses secara informal oleh individu tanpa perlindungan kesehatan dan keselamatan.

Proses daur ulang informal punya risiko kesehatan yang serius. Paparan terhadap timbal, merkuri, dan kadmium dapat menyebabkan gangguan sistem saraf, pernapasan, hingga kanker. Dari sini dapat kita lihat, dampak industri teknologi bisa sangat nyata, sangat dekat, tapi nyaris tak dibicarakan.

Memperbaiki untuk Hidup yang Lebih Adil

Right to Repair seharusnya dilihat lebih dari sekadar protes. Bukan cuma soal memperbaiki ponsel retak atau laptop rusak. Hak untuk memperbaiki adalah upaya untuk menolak sistem produksi dan konsumsi yang boros, timpang, dan merusak.

Dengan memperjuangkan hak untuk memperbaiki, kita juga sedang:

  • Mengurangi kebutuhan membeli baru, yang artinya menekan permintaan terhadap sumber daya alam yang terus dikuras. 
  • Memberi ruang bagi teknisi lokal dan industri reparasi, yang selama ini tersingkir oleh sistem “beli baru lebih murah”. 
  • Mendorong sistem ekonomi yang lebih sirkular, di mana nilai sebuah barang tak langsung hilang saat rusak. 

Di tengah ketidakpastian ekonomi dan krisis iklim, memperbaiki bisa menjadi bentuk perlawanan kecil yang berarti. Aksi ini mengembalikan kontrol kepada pengguna, membela hak atas informasi, akses, dan pilihan. Lebih jauh lagi, aksi ini menolak ketimpangan ekologis yang menyasar negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Tentu kita tidak bisa menyelesaikan semua masalah dengan obeng dan lem perekat. Tapi kita bisa mulai dari hal-hal kecil. Dari memperbaiki barang rusak, hingga mendukung regulasi yang adil bagi konsumen dan lingkungan.

Karena kalau barangnya saja tidak bisa diperbaiki, bagaimana dengan sistem yang memproduksinya?

 

Sumber

Calboli, I. (2023). The Right to Repair: Recent Developments in the USA. WIPO Magazine. https://www.wipo.int/web/wipo-magazine/articles/the-right-to-repair-recent-developments-in-the-usa-56378

WALHI. (2024). Hilirisasi Mineral Berujung pada Kerugian dan Kriminalisasi Warga di Morowali. WALHI. https://www.walhi.or.id/hilirisasi-mineral-berujung-pada-kerugian-dan-kriminalisasi-warga-di-morowali

Defitri, M. (2022). Pengelolaan Sampah Elektronik dan Peraturannya di Indonesia. https://waste4change.com/blog/pengelolaan-sampah-elektronik-dan-peraturannya-di-indonesia

Forti, V., Baldé, C. P., Kuehr, R., & Bel, G. (2020). The Global E-waste Monitor 2020: Quantities, flows and the circular economy potential. United Nations University (UNU), International Telecommunication Union (ITU) & International Solid Waste Association (ISWA). https://ewastemonitor.info 

ValidNews. (2023). Menanti terbitnya hak untuk memperbaiki. Validnews.id. https://validnews.id/nasional/menanti-terbitnya-hak-untuk-memperbaiki

Scroll to Top