Pendampingan kelompok usaha pembibitan di Lampung tidak lahir dari program besar atau proposal dengan indikator rumit. Ia bermula dari satu kegelisahan sederhana: mengapa banyak inisiatif ekonomi masyarakat gagal bertahan, padahal sumber daya alamnya melimpah dan bantuan datang silih berganti?
Pertanyaan itu membawa saya menelusuri pekon-pekon di Tanggamus dan Pesisir Barat—wilayah yang menjadi peralihan antara hutan Bukit Barisan dan lahan pertanian intensif di pesisir selatan Lampung. Di tempat-tempat inilah kelompok tani hutan, perempuan, dan pemuda membangun pembibitan tanaman agroforestri: kopi, alpukat, durian, hingga jengkol. Namun, di balik tumpukan polybag dan bedengan, saya menemukan sesuatu yang lebih dalam: pembibitan bukan sekadar produksi bibit, melainkan proses regenerasi sosial, pengetahuan, dan harapan.
Pendampingan sebagai Dialog, Bukan Proyek
Pendampingan sering dimaknai sebagai kegiatan teknis—menghitung jumlah bibit, memeriksa media tanam, dan menargetkan tingkat keberhasilan. Tapi lapangan menunjukkan hal berbeda. Suatu siang di Dusun Sedayu, seorang ibu anggota kelompok perempuan menunjuk bibit kopi yang mulai layu dan berkata, “Bibit itu hidup kalau kita rajin ngobrol sama dia. Kalau cuma disiram, ya dia tumbuh tapi tidak kuat.”
Kalimat itu bukan sekadar ungkapan manis, melainkan refleksi atas pengetahuan ekologis yang hidup di masyarakat. Ia menyiratkan hubungan emosional antara manusia dan alam—relasi yang sering diabaikan oleh pendekatan pembangunan yang terlalu teknokratis.
Pendampingan yang sejati, karenanya, bukan dimulai dari daftar target, tetapi dari mendengarkan cerita: mengapa orang menanam, bagaimana mereka memahami keberhasilan, dan untuk siapa mereka merawat bibit itu. Dalam pandangan antropologi pembangunan, cara seperti ini mencerminkan ethnographic turn—pergeseran pendekatan yang menempatkan pengalaman masyarakat sebagai sumber utama pengetahuan.
Bibit Pengetahuan: Antara Lokal dan Ilmiah

Salah satu tantangan terbesar dalam pendampingan adalah mempertemukan dua dunia pengetahuan: lokal dan ilmiah. Bagi petani di Semaka, “bibit unggul” adalah bibit yang mampu bertahan di tanah mereka, meski tumbuh lambat. Namun bagi lembaga atau program donor, bibit unggul berarti varietas bersertifikat dengan produktivitas tinggi.
Ketegangan epistemik ini bukan sekadar perbedaan teknis, tetapi juga mencerminkan perbedaan cara berpikir. Dalam praktiknya, masyarakat sering menggabungkan keduanya secara kreatif. Mereka menanam varietas baru dengan metode lama, atau menguji cara penyiraman alternatif yang tidak pernah diajarkan dalam pelatihan resmi.
Inilah yang oleh Bruno Latour disebut co-production of knowledge: pengetahuan tidak ditransfer dari atas ke bawah, tetapi lahir dari interaksi antara aktor-aktor dengan pengalaman dan otoritas berbeda. Dalam konteks ini, pendamping bukanlah “guru”, melainkan jembatan yang menghubungkan dua cara pandang agar saling memperkaya.
Membaca Ulang Relasi Kuasa dalam Pemberdayaan
Kata “partisipasi” kerap menjadi mantra dalam setiap proyek pemberdayaan. Namun di lapangan, relasi kuasa masih sering mengendalikannya. Dalam sejumlah kelompok, suara perempuan jarang terdengar dalam rapat, meski mereka justru yang paling telaten merawat bibit. Pendampingan yang sensitif gender tidak cukup hanya melibatkan perempuan sebagai peserta, tetapi menempatkan mereka sebagai perancang keputusan dan pengelola kegiatan.
Di sisi lain, hierarki internal juga perlu disadari. Dalam satu kelompok di Pekon Sedayu, misalnya, ketua kelompok cenderung mendominasi pembagian bibit karena dianggap “paling berpengalaman”. Situasi semacam ini memperlihatkan bahwa pendampingan yang reflektif tak bisa lepas dari pembacaan politik mikro—siapa yang berkuasa, siapa yang diam, dan bagaimana dinamika ini membentuk hasil akhir program.
Kesadaran kritis ini menuntut pendamping untuk tidak sekadar “memberi ruang partisipasi”, tetapi juga menantang struktur yang membuat sebagian suara terpinggirkan. Pendampingan yang sejati adalah proses politis dalam arti paling sederhana: memperjuangkan agar setiap orang punya suara yang setara dalam menentukan masa depan lingkungannya.
Ekonomi Moral dan Ketahanan Lokal
Kelompok pembibitan seringkali tidak beroperasi dengan logika pasar murni. Bibit tidak selalu dijual, tetapi dibagikan kepada tetangga atau kelompok lain sebagai bentuk solidaritas. Dalam satu peristiwa, seorang petani menolak menjual bibit kopi robusta meski ada pembeli dengan harga tinggi, dengan alasan “ini buat program pemulihan hutan, bukan buat dagang.”
Dari kacamata ekonomi modern, tindakan ini tampak tidak efisien. Namun dalam logika masyarakat, inilah bentuk ekonomi moral—seperti disebut James C. Scott—di mana nilai gotong royong lebih penting daripada keuntungan finansial.
Ketika musim kemarau panjang 2024 membuat banyak bibit mati, masyarakat tak menyerah. Mereka berinovasi dengan sistem penyiraman dari botol bekas dan mulsa organik. Dari kegagalan itu tumbuh ketahanan. Pendampingan pun berubah dari sekadar pelatihan menjadi learning partnership—ruang belajar dua arah antara pendamping dan masyarakat.
Menanam Harapan, Merawat Pengetahuan
Dari pengalaman di Lampung, saya belajar bahwa pendampingan sejati bukanlah alat untuk mencapai target pembangunan, melainkan sebuah ekologi pengetahuan: ruang di mana ilmu, pengalaman, dan nilai lokal saling tumbuh. Pendamping bukan hanya penggerak, tetapi bagian dari jaringan sosial yang ia bantu bentuk.
Seorang bapak tani pernah berkata, “Kalau mau lihat pohon besar, jangan cuma lihat batangnya. Lihat siapa yang menyiraminya setiap pagi.” Kalimat itu menjadi penutup yang paling jujur bagi refleksi ini. Sebab dalam pendampingan, yang tumbuh bukan hanya bibit di polybag, tetapi juga kesadaran kolektif bahwa kehidupan yang berkelanjutan selalu dimulai dari akar—dari tangan-tangan yang sabar, dari pengetahuan yang hidup, dan dari keberanian untuk terus belajar bersama. Mungkin, di situlah inti dari pendampingan, bukan tentang proyek yang selesai, tetapi tentang kehidupan yang terus tumbuh.
Ditulis oleh Evi Indraswati
Mahasiswa Pascasarjana Antropologi di Universitas Indonesia, sekaligus praktisi pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan dan agroekologi PILI Green Network yang aktif mendampingi kelompok tani hutan di Lampung dalam program pemulihan ekosistem berbasis masyarakat
