Dalam bayangan banyak orang, kegiatan penanaman adalah hal yang cukup gampang. Tinggal siapkan bibit, gali tanah sedikit, lalu tanam. Namun nyatanya, untuk memastikan setiap bibit dapat tumbuh dan bertahan, perlu proses panjang yang melibatkan banyak waktu, tenaga, dan sumber daya.
Kabupaten Rote Ndao
Rote Ndao adalah kabupaten paling selatan di Indonesia, yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayahnya mencakup 96 pulau, dengan enam di antaranya berpenghuni. Pulau Rote merupakan yang terbesar di antara gugusan pulau ini. Secara keseluruhan, Rote Ndao memiliki luas daratan sekitar 1.280 km² dan perairan seluas lebih dari 67 ribu km².
Topografi kepulauan ini didominasi dataran rendah dan perbukitan, serta kawasan pesisir yang luas — menjadikannya lokasi penting untuk konservasi ekosistem mangrove. Meski memiliki tutupan mangrove yang signifikan, ekosistem mangrove di Kabupaten Rote Ndao menunjukkan adanya tingkat kekritisan atau degradasi di beberapa wilayahnya. Berbagai data dan laporan mengindikasikan adanya ancaman dan kerusakan yang memerlukan perhatian serius untuk menjaga keberlanjutan ekosistem tersebut.
Kerusakan ekosistem mangrove di Rote Ndao bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Mangrove merupakan tempat ikan memijah dan berkembang biak. Ketika hutan mangrove rusak, produktivitas hasil laut pun ikut menurun, padahal laut menjadi salah satu sumber penghidupan utama warga selain bertani dan beternak.
Selain itu, mangrove juga berfungsi sebagai pelindung alami dari abrasi dan gelombang. Tanpa keberadaannya, garis pantai lebih mudah terkikis dan pemukiman warga menjadi lebih rentan terhadap kerusakan. Karena itu, pemulihan ekosistem mangrove menjadi langkah penting, tidak hanya untuk menjaga lingkungan, tetapi juga untuk meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat pesisir.
Merencanakan Penanaman
Yayasan PILI telah menetapkan Desa Oelua di Kecamatan Loaholu dan Desa Sotimori di Kecamatan Landu Leko, Kabupaten Rote Ndao, sebagai lokasi penanaman mangrove.Tapi penanaman tak bisa langsung dilakukan begitu saja — banyak langkah yang harus dilalui sebelumnya.
Tim PILI bersama mitra lokal melakukan analisis mendalam terhadap kondisi lingkungan di sekitar lokasi penanaman. Mulai dari jenis tanah, ketinggian pasang surut air laut, kadar garam, hingga kandungan oksigen terlarut. Semua karakteristik ini jadi acuan penting untuk menentukan jenis mangrove yang cocok untuk ditanam.
Selain faktor lingkungan, aspek sosial juga tidak kalah penting untuk dikenali. Misalnya pola aktivitas masyarakat lokal, mata pencaharian utama mereka, serta status hukum area tanam. Tim perlu memahami pola aktivitas masyarakat, mata pencaharian utama warga, hingga status hukum lahan yang akan digunakan. Dengan mengenali semua elemen tersebut, strategi penanaman bisa dirancang lebih matang, memastikan mangrove yang ditanam dapat tumbuh dan terjaga dalam jangka panjang.

Hasil Survey Area Penanaman di Desa Sotimori
Lahan yang disiapkan berstatus APL (Area Penggunaan Lain) dan sudah mendapat izin dari Dinas Kehutanan NTT.
Kondisi Lahan:
- Tanahnya lumpur bercampur pasir halus
- Kedalaman lumpur 30–50 cm
- Pasang tertinggi mencapai 1,8 meter
- Kandungan organik sedang–tinggi (tanah gembur, berbau khas)
- Warna tanah abu-abu kecoklatan, tanda mikroorganisme aktif
Karakteristik substrat semacam ini secara umum sangat cocok untuk Rhizophora mucronata dan Ceriops tagal karena, Propagul dapat menancap stabil., Akar tunjang Rhizophora efektif memadatkan substrat, Kandungan nutrien mendukung pertumbuhan awal bibit.
Hasil Survey Area Penanaman di Desa Oelua
Berlokasi di kawasan hutan lindung yang dikelola Unit Pelaksana, dekat dengan pemukiman warga.
Kondisi Lahan:
- Substrat pasir berlumpur dangkal
- Lapisan lumpur tipis (<20 cm)
- Semakin ke darat, tanah makin berpasir
- Kandungan bahan organik lebih rendah dibanding Sotimori
- Pasang tertinggi sekitar 50 cm
Untuk substrat semacam ini, Sonneratia alba dan Avicennia marina lebih sesuai, karena menurut Tomlinson (1986)[1]. kedua jenis tersebut memiliki akar napas yang mampu memperkuat substrat dan toleransi tinggi terhadap genangan air dangkal dan salinitas ekstrim.
Kolaborasi untuk Pesisir Lestari
Yayasan PILI tidak berjalan sendiri. Di sepanjang proses perencanaan, banyak pihak yang terlibat dan saling mendukung. Mulai dari pemerintah desa, mitra lokal, hingga masyarakat yang kelak akan menjadi penjaga utama mangrove di wilayahnya.
Kegiatan perencanaan ini dilaksanakan pada bulan Juni 2025, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Yayasan PILI bertindak sebagai fasilitator utama, bekerja sama dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kabupaten Rote Ndao, pemerintah desa, dan kelompok masyarakat pengawas laut (Pokmaswas).
Tahapan awal dimulai dengan koordinasi antara tim Yayasan PILI dan KPH Rote Ndao untuk menentukan lokasi tanam dan pengelolaan bibit mangrove. Setelah itu, dilanjutkan dengan pertemuan di dua desa—Sotimori dan Oelua—bersama pemerintah desa dan Pokmaswas setempat. Dari pertemuan ini, disepakati pembagian peran yang jelas, termasuk komitmen bersama untuk menjaga mangrove secara berkelanjutan bahkan setelah program selesai.
Keterlibatan warga menjadi kunci penting. Mereka bukan hanya penerima manfaat, tetapi juga penggerak utama dari upaya konservasi ini. Dengan pengetahuan lokal dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar, masyarakat menjadi bagian dari solusi jangka panjang untuk memperkuat ketahanan ekonomi pesisir melalui pengelolaan sumber daya alam yang lestari.
sumber:
[1] Tomlinson, P. B. (1986). The Botany of Mangroves. Cambridge: Cambridge University Press