Indonesia dan Jepang sama-sama punya sampah. Tapi pengelolaannya jauh berbeda. Apa yang bisa kita pelajari?
Setiap tahunnya, Indonesia menghasilkan 21,8 juta ton sampah rumah tangga (ASEF, 2022). Dari jumlah ini, hanya sebagian kecil yang berhasil didaur ulang. Total pengurangan sampah baru mencakup 49,8% dari timbulan, sementara penanganannya hanya sekitar 14,5% (KLHK dalam Kompas, 2023). Akibatnya, mayoritas sampah berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), dibakar secara terbuka, atau mencemari lingkungan sekitar.
Masalah ini kian mendesak, terutama di kota-kota besar. Sejumlah TPA sudah melebihi kapasitasnya bertahun-tahun, seperti TPA Piyungan di Yogyakarta dan TPA Sarimukti di Jawa Barat, yang kini menampung sampah jauh di atas daya tampung rancangannya.
Jepang: Bukan Tanpa Sampah, Tapi Tertib Pengelolaannya
Jepang menempati peringkat pertama dalam Global Waste Index 2024 yang membandingkan 38 negara OECD. Namun, Jepang juga pernah mengalami krisis limbah, terutama pada masa modernisasi dan industrialisasi. Untuk mengatasinya, Jepang mengembangkan pendekatan menyeluruh berbasis kebijakan, teknologi, dan budaya.
Sejak tahun 2000-an, Jepang mulai menerapkan kebijakan “Sound Material-Cycle Society”, yang menekankan prinsip 3R: Reduce, Reuse, Recycle. Warganya terbiasa memilah sampah ke dalam 10 hingga 45 kategori, tergantung peraturan lokal. Sistem ini didukung dengan jadwal pengumpulan ketat dan sanksi untuk pelanggaran.

Teknologi juga memainkan peran besar. Jepang mengoperasikan lebih dari 1.000 insinerator modern dengan teknologi pemulihan energi. Sekitar 80% sampah dikirim ke insinerator, hanya 1–5% yang benar-benar berakhir di landfill — salah satu yang terendah di dunia.
Lebih jauh, budaya tanggung jawab kolektif membuat warga Jepang merasa malu jika membuang sampah sembarangan. Kebersihan dianggap sebagai bagian dari etika.
Pengelolaan sampah di Jepang bukan tanpa tantangan. Tapi sistem mereka menunjukkan bagaimana manajemen limbah bisa menjadi bagian dari gaya hidup dan budaya masyarakat — bukan sekadar urusan petugas kebersihan.
Kita Bukan Jepang, Tapi Kita Bisa Belajar
Tentu saja, Indonesia punya tantangan yang berbeda. Dari karakter geografis kepulauan, ketimpangan infrastruktur, hingga sistem daur ulang yang bergantung pada sektor informal. Sistem pengangkutan dan pengelolaan sampah juga sangat bervariasi antara kota dan desa, antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya.
Namun bukan berarti kita harus pasrah.
Kita tidak harus (dan tidak mungkin) menjadi Jepang. Tapi kita bisa mengambil banyak pelajaran:
- Pendidikan dan budaya lingkungan sejak dini
- Sistem pemilahan sampah yang konsisten dan mudah dipahami
- Investasi dalam teknologi pengolahan dan daur ulang
- Kebijakan produsen bertanggung jawab (Extended Producer Responsibility/EPR)
Menata kembali pengelolaan sampah di Indonesia jelas bukan pekerjaan mudah. Tapi dengan komitmen jangka panjang — mulai dari edukasi, regulasi, hingga dukungan untuk inovasi lokal — kita bisa mulai bergerak ke arah yang lebih baik.
Sumber
ASEF. (2022). Waste Management in Indonesia and Jakarta. Asia-Europe Foundation. https://asef.org/wp-content/uploads/2022/01/ASEFSU23_Background-Paper_Waste-Management-in-Indonesia-and-Jakarta.pdf
Earth.org. (2024). Japan’s Waste Management: A Model for the World.
https://earth.org/japan-waste-management
Kompas. (2023, July 28). Emergency in Indonesia’s Waste Management. https://www.kompas.id/baca/english/2023/07/28/en-darurat-pengelolaan-sampah-di-indonesia
WasteDirect UK. (2024). Japan’s Waste Management System.
https://wastedirect.co.uk/blog/japans-waste-management-system