Tiga Budaya Dayak Taman Meragun di Kalimantan Barat

Penduduk Desa Meragun di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat didominasi suku Dayak Taman Meragun. Menurut cerita, suku Dayak Taman yang berada di desa ini berasal dari Kapuas Hulu, yang melakukan perjalanan menyusuri sungai Kapuas. Namun dalam perjalanan, mereka terhalang oleh batang pohon adu tumbang yang menutup aliran sungai. Mereka akhirnya menetap di Sekadau dan beranak-pinak.

Populer di kalangan masyarakat Sekadau menyebut Suku Dayak Taman Desa Meragun sebagai Dayak Taman Sosat (sesat; yang berarti tersesat dan memilih untuk menetap dan tidak kembali ke daerah asal).

Seiring waktu, pola kehidupan masyarakat Meragun mengikuti perkembangan zaman. Meski begitu, mereka masih melestarikan budaya Dayak. Berikut tiga budaya Dayak yang masih digelar suku Dayak Taman Meragun.

  1. Gawai

Gawai adalah istilah yang dipakai suku Dayak yang mengacu pada perayaan syukuran atau selamatan. Gawai dilakukan secara bertingkat, mulai dari kampung atau desa, kecamatan, dan kabupaten. Dewan Adat Dayak di tingkat kabupaten mengadakan rapat untuk menyepakati jadwal gawai. Tujuannya, agar pelaksanaan gawai tiap desa tidak dilakukan bersamaan sehingga masyarakat dari desa lain bisa turut meramaikan acara. Di Meragun, gawai kampung digelar pada akhir Juni, sekitar 25 – 30 Juni.

Gawai kampung dimaksudkan untuk berbagai hal, seperti syukuran hasil panen, acara sunat, maupun pernikahan. Tamu yang datang dari berbagai daerah dapat hadir dalam pelaksanaan Gawai kampung, berpindah dari satu rumah ke rumah lain yang melaksanakan gawai. Tradisi gotong royong masih kental di masyarakat Dayak Taman Meragun, mereka saling bantu untuk menyiapkan dan melaksanakan gawai.

Sebelum pelaksanaan Gawai kampung, suku Dayak Taman Desa Meragun melakukan ritual bepadah supaya tidak ada yang bertengkar, sakit, atau mabuk. Dalam bepadah, Suku Dayak Taman Desa Meragun juga mintak juga jagat balak insia (meminta jaga anak manusia). Kegiatan ini dilakukan di area keramat Nyai Anta.

Setelah gawai kampung selesai biasanya lembaga adat dayak Kabupaten melaksanakan Pekan Gawai Dayak (PGD) yang dilaksanakan di Rumah Betang Kabupaten Sekadau. Acara ini merupakan perayaan dan festival budaya yang diadakan setiap tahunnya oleh suku Dayak, sebagai wujud rasa syukur masyarakat kepada Jubata— Sang Pencipta.

 

  1. Ritual Bepadah

Bepadah berasal dari bahasa Dayak yang berarti memberitahu atau menyampaikan niat. Sehingga, ritual Bepadah dimaksudkan untuk memberitahu dan berdoa pada leluhur akan adanya suatu kegiatan. Dengan harapan setelah melakukan ritual Bepadah, kegiatan dapat berjalan dengan lancar, tidak diganggu roh jahat, dan orang-orang yang menjalankan kegiatan senantiasa sehat.

Bepadah terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan diantaranya madah mantak, madah masak, dan ngantung rancak.

Ritual Bepadah dimulai dengan madah mantak untuk membuka komunikasi dengan roh leluhur. Dalam madah mantak, tokoh adat yang memimpin ritual akan merapal mantra dalam bahasa setempat untuk menyampaikan maksud dilaksanakannya upacara. Pemimpin ritual kemudian “menunjukkan” bahan-bahan persembahan yang masih dalam kondisi belum dimasak (matak artinya mentah). Pada proses madah mantak juga dilakukan bekibau, yaitu mengibas-ngibaskan ayam sambil membaca doa dan mantra. Setelah itu, tokoh adat melemparkan beras untuk melakukan pemberkatan. Rangkaian madah matak ditutup dengan memotong hewan. Darah pertama yang menetes dipercikkan ke beras yang telah disediakan. Setelah madah mantak, ayam kemudian dimasak sesuai dengan permintaan pemimpin ritual. Setelah matang, beberapa bagian dari ayam yang dimasak tersebut dijadikan sesajian. Selebihnya dihidangkan kepada hadirin yang mengikuti upacara.

Sebelum menyantap hidangan, dilakukan ritual madah masak, yaitu memberitahu pada roh leluhur untuk hadir dan bersantap bersama. Dalam madah masak, tokoh adat pemimpin ritual memanjatkan doa kepada leluhur supaya menghadang roh-roh jahat agar tidak masuk kampung dan mengganggu warga. Setelah selesai, hadirin dipersilahkan menyantap hidangan.

Bepadah diakhiri dengan ngantung rancak. Rancak adalah wadah bambu yang digunakan untuk tempat sesajian. Rancak yang sudah berisi bahan sesajian digantung di lokasi keramat. Beberapa rancak juga diperuntukkan untuk roh-roh jahat yang digantungkan di arah datang menuju desa, dengan tujuan setelah sesajian diberikan, roh-roh jahat pembawa petaka segera kembali ke tempat asalnya dan tidak masuk sske desa.

 

  1. Ritual Nyerimah

Budaya Dayak Taman lain yang masih dilestarikan adalah penyambutan tamu atau nyerimah. Nyerimah dimulai dengan memancung atau memotong buluh bambu muda oleh tamu. Tokoh adat akan menyiapkan sebilah pedang. Pedang yang digunakan adalah milik Ketua Adat Dusun Meragun, yang diwariskan secara turun temurun.

Setelah memancung bambu muda, tamu diminta menginjak nampan yang berisi tanah yang telah dibentuk bulat, telur, mangkuk kecil berisi beras ketan, dan mangkuk berisi pemeram yang terdiri dari nasi pulut, ayam, dan hati ayam. Bahan-bahan di atas nampan yang telah diinjak tamu kemudian ditabur–taburkan sebagai pemberitahuan ke nenek moyang bahwa ada tamu yang datang. Setelah minum tuak— minuman beralkohol Nusantara—, barulah tamu dipersilakan masuk ke balai adat atau pertemuan dan acara dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh tokoh adat.

Prosesi ditutup dengan menyantap hidangan yang telah dimasak bersama oleh masyarakat. Hidangan ini berupa ayam pulut atau ayam yang telah dimasak menggunakan bambu dan nasi lemang— nasi dari beras ketan yang dimasak dalam bambu.

 

Sumber: Kajian Sosial di Dusun Meragun (Juli 2023)

Scroll to Top