Revisi Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Undang-undang (UU) Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE 1990) sejak 29 Juni 2022 dan hingga kini masih sedang berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senayan, Jakarta. Revisi tersebut dilatarbelakangi dengan fakta bahwa UU KSDAHE 1990 ini terlalu usang dan banyak kekurangan untuk dipertahankan sebagai landasan hukum atas berbagai persoalan yang makin kompleks seputar kelestarian alam.
Tujuan utama dari revisi UU KSDAHE 1990 ini adalah membuatnya lebih “perkasa” dalam fungsinya mengatur berbagai permasalahan konservasi keragaman genetik. Termasuk di dalamnya tentang medik konservasi, terutama yang menyangkut penanganan zoonosis. Dengan masuknya berbagai aspek seputar konservasi medik ke dalam peraturan yang berkekuatan hukum, maka akan ada harapan bahwa merebaknya kembali wabah seperti yang terjadi dengan pandemik Covid-19 dapat dicegah, atau setidaknya diminimalkan kemungkinannya untuk berulang kembali.
Penyebaran penyakit zoonosis di masa mendatang diperkirakan akan paling rentan terjadi di wilayah yang memiliki populasi manusia yang tinggi, keanekaragaman hayati yang tinggi, serta perubahan kondisi lingkungan yang cepat. Ada beberapa hal yang menjadi pemicu penyebaran penyakit zoonosis.
Pertama, interaksi antara manusia dan satwa liar, khususnya yang memiliki risiko penularan patogen, yang seringkali terjadi jika manusia mengabaikan kebersihan dan kesehatan. Indonesia dewasa ini merupakan salah satu lahan subur bagi praktik ilegal peredaran satwa liar. Beberapa wilayah di Indonesia juga memiliki pasar satwa liar domestik yang untuk kuliner.
Pasar-pasar semacam ini berpotensi menjadi pusat penyebaran patogen dari satwa liar, baik antar sesama satwa (cross species transmission) yang tertumpuk di pasar-pasar tersebut, maupun dari satwa ke manusia. Dengan sumber kekayaaan alam melimpah, Indonesia adalah negara pengekspor utama mamalia, reptil, burung, dan karang di tingkat internasional. Tanpa peraturan yang jelas dan sangsi yang tegas, perdagangan satwa liar antar negara ini juga dapat menjadi sarang terjadinya penularan virus secara liar pula.
Kedua, tingginya populasi spesies pembawa penyakit (reservoir population). Burung dan mamalia, khususnya tikus dan kelelawar, adalah dua jenis satwa yang pada tubuhnya mengandung jumlah patogen yang secara alami paling tinggi. Mempertimbangkan hal tersebut, segala bentuk perdagangan satwa liar, terutama perdagangan ilegal, harus mendapatkan perhatian penting.
Ketiga, berkurangnya pohonpohon di hutan dan pembukaan lahan dekat hutan untuk pemukiman. Bagi masyarakat yang hidup di dekat hutan, sumber protein yang mudah diperoleh seringkali berasal dari satwa liar yang ditangkap langsung dari dalam hutan. Mereka melakukan itu karena sulitnya akses menuju pasar tradisional untuk mendapatkan sumber protein alternatif. Kondisi ini memicu meningkatnya konsumsi satwa liar di tingkat rumah tangga. Selain itu, berkurangnya hutan juga turut menyebabkan berbagai satwa liar yang tadinya hidup serba kecukupan sumber pangan di dalam hutan, terpaksa keluar sarang atau habitat alamiahnya untuk mencari makan di lahan yang menjadi tempat tinggal manusia, sehingga terjadi interaksi atau kontak antara satwa liar dan manusia.
Keempat, kemampuan virus berevolusi dan beradaptasi (mutasi) di lingkungan baru. Setelah menemukan inang baru, virus melakukan mutasi sebagai mekanisme beradaptasi sebelum akhirnya mampu untuk tumbuh menjadi populasi baru dengan daya sebar tinggi beserta potensi infeksi yang menyertai. Interaksi manusia yang sangat dekat dengan satwa sebagaimana disebutkan di atas dan percepatan mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat lainnya menyebabkan virus memiliki kesempatan untuk mengakses populasi inang baru di lingkungan yang baru bagi mereka dan melakukan adaptasi. Salah satu contoh dampak akibat mutasi tersebut adalah penyakit influenza dan Covid-19 yang merupakan infeksi dari Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)-Cov-2. Hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun, mutasi dari virus SARS-Cov-2 terjadi begitu cepat hingga tercipta sembilan varian, dengan yang terbaru yaitu Omicron. Mutasi Covid-19 tersebut menyebabkan sekitar 5,41 juta manusia tewas sebagai korban keganasan mutasi dan infeksi dari virus tersebut di seluruh dunia. Tak tertutup kemungkinan jika faktor-faktor pemicu percepatan transmisi zoonosis sebagaimana yang disebutkan di atas tidak dihambat, tingkat penyebaran virus dan potensi munculnya penyakit baru menjadi lebih tinggi.
Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran akan pentingnya pendekatan holistik dalam menghadapi persoalan menyangkut kesehatan manusia, keutuhan hewan liar, dan lingkungan. Pendekatan holistik atas persoalan kesehatan manusia dan berbagai spesies lain yang ada di alam harus tercantum dengan jelas dan rinci dalam RUU KSDAHE 1990 yang proses proses revisinya sedang berlangsung di DPR.
Kasus transmisi wabah Covid-19 mungkin saat ini memang sudah mulai menunjukan garis grafik yang kian landai. Tapi bukan berarti setelah ini tak akan terjadi lagi pandemi. Kemungkinan merebaknya pandemic di masa datang tetap terbuka, mungkin bukan berwujud
Covid-19, melainkan jenis yang lain, berupa penyakit infeksi baru (Emerging Infectious Disease, EID) lain, kasus zoonosis endemik, dan ancaman resistensi antimikroba (antimicrobial resistance, AMR).
Bedanya, sebagai manusia kita bisa belajar dari pengalaman sehingga kalaupun nantinya terjadi lagi penyebaran wabah, kita sudah memiliki peraturan berupa hasil revisi UU KSDHAE sebagai senjata untuk sebisa mungkin mencegah, atau setidaknya melakukan upaya untuk meminimalkan dampaknya yang sudah terbukti sangat berdaya rusak sangat tinggi terhadap aspek kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Artikel asli dari Warta Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat Edisi Oktober 2022 dengan judul Medik Konservasi Sejak dari Senayan.