Gumpalan awan putih memayungi langit Meragun. Sinar matahari berwarna kuning tetap saja bebas menyela di antara awan-awan itu. Siang itu, udara di salah satu desa yang termasuk Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, begitu terik menyengat kulit. Tengah hari, selepas ritual Bepadah— upacara adat berdoa pada leluhur dengan maksud memohon kelancaran kegiatan yang akan dilaksanakan— tim Yayasan Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI) sibuk berkemas-kemas.
Kedatangan tim PILI di awal Juli 2023 itu untuk menelisik nilai konservasi tinggi atau high conservation value (HCV) dan cadangan karbon atau carbon stock assessment (CSA). Kegiatan ini digelar di area Hutan Kemasyarakatan (HKm) Beganak, Desa Meragun, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Tim membagi enam area yang menjadi titik kajian, yang diberi kode SK (Sekadau) diikuti angka 1 sampai 6.
Hutan kemasyarakatan Beganak merupakan salah satu skema dari perhutanan sosial di Desa Meragun. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memberi izin kelola kepada Kelompok Tani Beganak.
Perjalanan dari rumah Ketua HKm Beganak Agus Aswandi, yang kediamannya dijadikan “basecamp”, ke perbatasan kawasan hutan kemasyarakatan bisa ditempuh dengan motor selama 30 menit. Selanjutnya, tim berjalan kaki menuju basecamp di titik SK 4. “Satu jam berjalan kaki sudah sampai basecamp,” kata Agus menjelaskan waktu tempuh untuk mencapai lokasi menginap.
Tapi, satu jam adalah waktu yang diperlukan Agus dan warga Meragun. Sementara tim harus menempuhnya dalam tiga jam untuk mencapai basecamp.
Memang, warga Meragun sudah terbiasa ke area hutan kemasyarakatan untuk berkebun. “Kalau orang Meragun biasanya pagi berangkat untuk panen, sore pulang,” lanjutnya.
Selama berjalan, tim melewati beberapa tanjakan, turunan, bahkan menyeberangi sungai. Entah berapa tanjakan sudah tim lewati. “Tinggal satu tanjakan lagi, setelah itu sudah sampai,” ujar Agus. Padahal setelah melewati satu tanjakan, dia mengatakan hal yang sama: tinggal satu tanjakan. Ternyata memang banyak tanjakan, sedikit turunan, lebih sedikit lagi jalan yang landai.
Meski lutut terasa panas, belantara di HKm Beganak memberi suguhan pemandangan yang indah. Pepohonan hijau beradu langit biru, juga aliran sungai yang bening terasa menyegarkan mata.
Pelawan terlihat menarik dengan kulit kayunya yang berwarna coklat kemerahan. Di belakang pohon unik ini adalah air terjun Sirin Meragun yang menjadi objek favorit wisatawan untuk bermain air. Foto: PILI Green Network
Di kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Beganak terdapat bendungan dan pipa-pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang menjadi sumber air penting bagi masyarakat di tiga kecamatan di Kabupaten Sekadau, termasuk Nanga Taman. Foto: PILI Green Network
Agus dan Rudi menunjukkan tembawang dalam perjalanan menuju titik kajian. Tembawang merupakan area bekas ladang di dalam hutan, suatu bentuk pengelolaan lahan dengan sistem wanatani asli suku Dayak. Foto: PILI Green Network
Sesampai di basecamp, sudah ada beberapa anggota kelompok HKm Beganak yang bertugas membantu tim kajian sedang rehat di bawah terpal hijau. Di lokasi yang dekat Sungai Meragun ini terdapat pondok milik masyarakat untuk beristirahat ketika berkebun. Untuk menampung keseluruhan anggota yang berjumlah 18 orang, tim mendirikan kemah beratap terpal.
Setelah sampai di basecamp, kegiatan dilanjutkan dengan mengkaji biodiversitas yang terdiri dari flora, avifauna, mamalia, dan herpetofauna. Selain itu, juga dilakukan pemetaan spasial.
Pagi hari, tim menuju titik kajian yang telah ditentukan. Tim flora mengerjakan analisis vegetasi dengan membuat plot. Tanaman yang ada di dalam plot dicatat jenis dan jumlahnya. Selain itu, tim flora juga melakukan pengukuran batang pohon, serta beberapa batang rebah untuk mengukur stok karbon.
Pada saat yang sama, tim avifauna mengamati jenis-jenis burung. Beragam burung yang dijumpai dicatat jenis, jumlah, dan aktivitasnya. Untuk melengkapi informasi, kondisi cuaca kala perjumpaan dengan burung juga dicatat.
Sementara itu, tim pemetaan spasial menggunakan sistem pemosisi global atau global positioning system (GPS), untuk menandai lokasi penting seperti sungai, hutan, maupun kebun masyarakat, dan menangkap citra lokasi-lokasi itu dengan pesawat nirawak.
Sedangkan, tim mamalia memasang mist net atau jaring kabut. Mist net ini baru diperiksa kembali menjelang malam. Kelelawar-kelelawar yang terjerat dilepas dari jaring, kemudian diukur morfometrinya seperti panjang badan, panjang sayap, dan panjang telinga, serta diidentifikasi jenisnya. Setelah itu, kelelawar dibebaskan kembali ke alam. Selain memasang mist net untuk mendapat data kelelawar, tim mamalia juga melakukan teknik jelajah untuk mencatat jenis mamalia lainnya.
Mentari bergulir, selepas makan malam, tim herpetofauna mulai bersiap pengamatan. Berbekal snake grabber, sarung tangan, dan kamera, tim berjalan menembus gelapnya hutan Beganak. Begitu ada amfibi maupun reptil yang ditemukan, kamera langsung disiapkan untuk memotret satwa-satwa nokturnal itu. Saat pengamatan, tenaga ahli tak bosannya mengingatkan untuk berhati-hati. Dalam mengkaji herpetofauna, khususnya ular, sepatutnya semua jenis dianggap “berbahaya” untuk menghindari hal yang tidak diinginkan seperti terkena gigitan ular berbisa.
Lokasi yang dijadikan kamp tim kajian adalah pondok masyarakat untuk beristirahat ketika berkebun di HKm Beganak. Lebih dari 10 orang bernaung di pondok beratap terpal ini. Foto: PILI Green Network
Sore hari, anggota kelompok HKm Beganak menangkap ikan di Sungai Meragun dengan bantuan “bubu”. Ikan yang didapat dimasak dengan berbagai bumbu dari hutan. Foto: PILI Green Network
Setelah empat hari bermalam di kawasan HKm Beganak, tim bergeser turun kembali ke basecamp di desa, alias rumah Agus untuk melanjutkan kajian di lokasi lainnya.
Ketika melakukan kajian sejak 5 – 10 Juli 2023, terkadang hal-hal tidak terduga harus dihadapi. Terutama soal cuaca. Jika pagi hari hujan, tim avifauna harus bersabar menunggu hujan reda. Jika malam hujan, tim herpetofauna yang mulai khawatir kalau-kalau tak bisa pengamatan. Hujan juga membuat sungai meluap. Pernah satu kali ketika akan melakukan kajian di SK 1, tim harus berenang menyebrangi sungai hingga basah kuyup.
Sekira sepekan melakukan kajian, tim menemukan potensi kekayaan hayati di HKm Beganak. Dari sisi biodiversitas, HKm Beganak masih menjadi habitat spesies penting seperti rangkong badak (Buceros rhinoceros), elang brontok (Nisaetus cirrhatus), dan kukang kalimantan (Nycticebus managensis). Hal ini menandakan hutan kemasyarakatan seluas 2.375 hekatre ini masih menyediakan pasokan makan dan perlindungan bagi satwa liar Kalimantan. Sementara itu, tim flora juga menemukan adanya rafflesia. Meski belum mekar, keberadaan jenis ini menjadi catatan menggembirakan.
Kajian nilai konservasi tinggi dan cadangan karbon ini masih jadi awal program yang akan dijalankan PILI bersama PT Parna Agromas bersama pengelola HKm Beganak. Selanjutnya, masih ada berbagai kegiatan untuk mengupayakan pelestarian dan kesejahteraan masyarakat di HKm Beganak.