Karbon Bisa Didagangkan

Belakangan ini, isu perdagangan karbon jadi topik yang menarik. Pada awalnya, perdagangan karbon timbul karena rasa ketidakpuasan dan ketidakadilan dari negara-negara yang masih memiliki hutan, yang umumnya merupakan negara miskin dan berkembang. Negara-negara ini merasa selalu ditekan untuk tetap menjaga hutannya demi kepentingan internasional tanpa memperoleh kompensasi apapun.

Di satu sisi, negara-negara ini dipaksa untuk mempertahankan kondisi hutannya agar tetap berfungsi menyerap karbon di udara sekaligus menjaga karbon yang ada di dalam tanah agar tidak lepas ke udara. Di sisi lain, negara-negara industri terus melepas CO2 melalui kegiatan industri mereka. Padahal, sekitar 85% emisi karbon yang ada di atmosfer berasal dari negara-negara ini. Sehingga, muncul anggapan bahwa sepantasnya merekalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan pemanasan global. Agar negara-negara miskin dan berkembang tidak hanya bertugas menjaga hutan saja, disusunlah mekanisme perdagangan karbon dengan maksud sebagai kompensasi ‘tugas jaga’ tersebut.

Kemudian, muncul pertanyaan-pertanyaan lain tentang perdagangan karbon. Pertanyaan kebanyakan yang muncul seperti, “Gimana caranya karbon diperdagangkan?” atau “Seperti apa bentuk ‘barangnya’?”.

Sebelum mengulas lebih jauh soal perdagangan karbon, coba kita mundur dulu, biar tahu bagaimana awal mula karbon jadi suatu komoditas.

Sejarah perdagangan karbon

Cikal bakal perdagangan karbon dimulai sejak awal 1990-an, ketika Protokol Montreal (1987) ditandatangani. Protokol Montreal adalah sebuah perjanjian internasional untuk mengatasi penipisan lapisan ozon. Salah satu hasil dari protokol ini adalah pembatasan penggunaan bahan kimia yang merusak lapisan ozon, misalnya klorofluorokarbon (CFC).

Di saat itu pula, para ilmuwan mulai mengkhawatirkan dampak gas rumah kaca terhadap lingkungan dan perubahan iklim global. Oleh karena itu, pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development [UNCED]) yang diadakan di Rio de Janeiro pada 1992, negara-negara peserta sepakat membuat kerangka kerja global untuk mengatasi perubahan iklim dan mengurangi emisi GRK.

Beberapa tahun setelahnya, Protokol Kyoto ditandatangani pada 1997 sebagai hasil dari Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (Conference of Parties [COP]) yang diadakan di Kyoto, Jepang. Protokol ini memperkenalkan sistem perdagangan emisi yang memungkinkan negara-negara industri untuk membeli dan menjual hak untuk menghasilkan emisi karbon. Protokol Kyoto menargetkan pengurangan emisi GRK di negara-negara industri tahun 2008-2012 sebesar 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990.

Tahun 2005, Sistem Perdagangan Emisi Uni Eropa (EU ETS) mulai diperkenalkan sebagai cara untuk memperkenalkan perdagangan karbon di Uni Eropa. Sistem ini memungkinkan perusahaan untuk membeli dan menjual izin emisi dan dianggap sebagai contoh sukses dalam penerapan perdagangan karbon.

Sepuluh tahun setelahnya, COP di Paris tahun 2015 menghasilkan Paris Agreement. Persetujuan ini bertujuan untuk menahan peningkatan temperatur ratarata global jauh di bawah 2°C di atas tingkat di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan temperatur ke 1,5°C di atas tingkat pra–industrialisasi. Selain itu, Perjanjian Paris diarahkan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim, menuju ketahanan iklim dan pembangunan rendah emisi, tanpa mengancam produksi pangan, dan menyiapkan skema pendanaan untuk menuju pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim. Perjanjian ini juga memperkenalkan perdagangan karbon sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan tersebut.

Sejak itu, perdagangan karbon terus berkembang dan diadopsi oleh berbagai negara dan organisasi. Meskipun masih ada kritik dan tantangan dalam penerapannya, perdagangan karbon tetap dianggap sebagai salah satu cara yang efektif untuk mengurangi emisi GRK dan mengatasi perubahan iklim global.

Apa itu perdagangan karbon?

Dalam konteks perdagangan tentu ada penjual, pembeli, dan barang dagangan. Negara pemilik hutan atau penyerap karbon sebagai penjual, negara-negara industri atau penghasil karbon sebagai pembeli, dan emisi karbon sebagai dagangannya. Jual-beli karbon ini akan dilakukan melalui suatu skema yang disepakati bersama secara standar internasional dan sebagai konsekuensinya negara penjual wajib mempertahankan dan menjaga kondisi hutannya. Selain perdagangan antarnegara, perdagangan karbon juga dapat dilakukan oleh perusahaan, yaitu antara perusahaan yang mengeluarkan emisi berlebih dan yang mengeluarkan emisi di bawah batas yang ditentukan.

Perdagangan karbon adalah kegiatan jual dan beli unit emisi karbon untuk melakukan offset atau mengimbangi emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan usaha pihak pembelinya. Agar memahami perdagangan karbon, perlu diketahui bahwa karbon dioksida adalah salah satu dari senyawa pencemar atmosfer yang memiliki efek gas rumah kaca. Karena karbon dioksida merupakan gas rumah kaca dengan jumlah paling banyak di atmosfer, maka emisi gas rumah kaca sering disebut sebagai emisi karbon.

Gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim yang dampaknya besar bagi kelangsungan hidup manusia. Potensi bahaya dari gas rumah kaca di atmosfer mendorong negara-negara di dunia untuk bersepakat melakukan aksi-aksi untuk mencegah kenaikan suhu Bumi lebih lanjut dengan mengurangi jumlah emisi karbon di atmosfer.

Kemudian, kita juga perlu mengetahui ‘barang dagangannya’ yang disebut ‘unit emisi karbon’. Padanan untuk unit emisi karbon sendiri ada beberapa, yang paling umum adalah Sertifikat Kredit Karbon (Carbon Credit Certificate). Padanan lain yang umum adalah Verified Carbon Certificate atau Verified Carbon Unit. Indonesia menggunakan istilah ‘unit emisi karbon’. Unit emisi karbon adalah aset yang secara aktual diperjualbelikan dalam perdagangan karbon.

Perdagangan karbon berjalan dengan memberi batasan bagi industri untuk mengeluarkan emisi. Misalnya, ada dua perusahaan yang diberi hak untuk mengeluarkan emisi 10.000 selama setahun. Perusahaan A ternyata hanya mengeluarkan emisi 7000. Sementara perusahaan B mengeluarkan emisi lebih dari 10.000.

Perusahaan B bisa membeli hak untuk mengeluarkan emisi dari sisa jatah pengeluaran emisi Perusahaan A. Perusahaan B ini bisa membeli langsung ke Perusahaan A atau melalui pemerintah. Uang dari hasil transaksi ini dimanfaatkan untuk mendanai proyek-proyek lingkungan yang dapat mengurangi emisi karbon atau meningkatkan kapasitas penyerapan karbon, seperti program penghijauan atau investasi dalam energi terbarukan.

Di luar nilai kompensasi yang disebut sebagai dana untuk menjaga lingkungan, perdagangan karbon masih menuai kontra. Sebab, mekanisme perdagangan karbon dinilai hanya memberi jalan bagi kecurangan negara-negara industri maju. Beberapa berpendapat bahwa negara-negara industri maju rela mengeluarkan uangnya untuk mekanisme penyerapan karbon di negara berkembang dengan imbalan mereka akan mendapatkan izin untuk tetap mencemari udara tanpa harus menurunkan emisi karbonnya.

Di dalam negeri, kesiapan kelembagaan dalam mengoordinasikan pengalokasian dana, kesiapan regulasi dalam sistem pembagian hasil kompensasi, status kawasan yang tumpang tindih dan moralitas seluruh pihak yang berhubungan dengan perdagangan karbon juga turut menuai kontra pada mekanisme perdagangan karbon. Mekanisme ini disinyalir akan merugikan masyarakat adat yang akan sangat membatasi akses mereka dalam mengelola hutannya sehingga konflik dengan pemerintah akan sangat mudah terjadi. Di samping itu, mekanisme ini juga disebut sebagai bentuk pengekangan negara-negara maju dimana negara-negara berkembang tidak bisa membangun industri-industri yang mengeluarkan emisi karena karbon mereka telah dibeli oleh negara maju dan itu membuat ketergantungan industri terhadap negara maju.

Terlepas dari silang pendapat tersebut, sebenarnya dengan ada atau tidaknya perdagangan karbon, kita wajib menjaga dan melestarikan hutan yang ada dan menjaga lingkungan.

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top