Tradisi ‘Ndai Tasi’ di Pulau Rote

Tinggal di daerah pesisir, membuat ndai tasi atau cari ikan di laut sebagai aktivitas tak terpisahkan masyarakat Rote. Ndai tasi menjadi salah satu tungga sangga alias sumber penghidupan orang Rote.

Namun jika melihat masa lampau, yang dimaksud ndai tasi ini dulunya adalah mencari ikan di pesisir atau daerah pasang surut untuk kebutuhan seisi rumah untuk dimakan hari itu saja. Jadi ketika ingin makan ikan atau hasil laut, orang Rote pergi ke pesisir, mencari hasil laut di daerah pasang surut. Hasil tangkapan antara lain: ikan, keong, kerang, anggur laut (orang Rote menyebutnya ‘latu’), rumput laut, dan lainnya.

Jika hasil ndai tasi melebihi kebutuhan seisi rumah, maka dibagikan kepada tetangga dan sanak saudara. Tersedia melimpah dan bisa diambil siapapun, membuat hasil ndai tasi pada waktu itu bukan sesuatu yang berharga untuk disimpan (karena mudah rusak), tetapi berharga untuk dibagikan.

Orang Rote melakukan ndai tasi hanya sebatas daerah pasang surut karena keterbatasan akses dan alat tangkap mereka. Ndai tasi terutama dilakukan saat laut surut jauh, atau orang Rote menyebutnya ‘meting besar’ dan kegiatan mencari ikan saat surut besar ini dikenal dengan istilah ‘maka meting’. Sehari-hari ndai tasi dilakukan oleh kaum perempuan, namun saat meting besar, maka meting dilakukan oleh hampir semua anggota keluarga: laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak.

Seorang nelayan Rote memperlihatkan hasil tangkapannya. Nelayan menjadi salah satu mata pencaharian utama orang Rote. Jika musim kurang baik untuk melaut, masyarakat Rote biasanya akan berkebun atau mencari alternatif penghasilan lainnya.

Seorang nelayan Rote memperlihatkan hasil tangkapannya. Nelayan menjadi salah satu mata pencaharian utama orang Rote. Jika musim kurang baik untuk melaut, masyarakat Rote biasanya akan berkebun atau mencari alternatif penghasilan lainnya.

Ndai tasi mulai mengalami perluasan atau pergeseran makna ketika terjadi interaksi antara pelaut pendatang dan penduduk Rote. Sebagai pulau yang terletak di selatan Indonesia dan berbatasan perairan dengan Australia, Pulau Rote menjadi tempat persinggahan pelaut dari Sulawesi (Bajo, Bugis, Buton) yang mencari hasil laut di perbatasan Australia.

Pada musim tertentu setiap tahun, pelaut-pelaut dari Sulawesi ini mengarungi lautan menuju Pulau Pasir untuk mencari teripang dan sirip hiu. Dalam perjalanan menuju Pulau Pasir, mereka selalu berhenti di Pulau Rote, terutama di pesisir Timur Pulau Rote (kini dikenal sebagai Desa Papela), dan pesisir Barat Laut Pulau Rote (yang dikenal sebagai Desa Oelua). Pelaut-pelaut ini tentunya memiliki interaksi sosial ekonomi dengan penduduk Rote.

Salah satu interaksi antara orang Rote dengan pelaut pendatang ini adalah dalam hal jual beli layar perahu (Fox, 1996). Orang Rote memintal serat gewang yang panjang, lalu ditenun menghasilkan lembaran-lembaran kain. Kain gewang yang tebal, kuat dan tahan lama ini dijadikan layar perahu yang oleh orang Rote dijual kepada pelaut-pelaut yang mendatangi Pulau Rote.

 

Tulisan dari Maria Dolorosa Bria Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Rote Ndao

 

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top