Mengintip Nasib RUU KSDAHE

Di penghujung 2022, Pemerintah Indonesia kembali membahas Rancangan Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE). Rancangan undang-undang ini dibahas untuk mengembangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990.

Menurut pemerintah, dengan usulan dan masukan dari ahli plus pegiat lingkungan, undang-undang yang sudah berumur lebih dari 30 tahun itu perlu disegarkan supaya relevan dengan kebutuhan dan kondisi saat ini.

Sebenarnya, RUU KSDAHE bukan bahasan baru. Cerita awal perjuangan untuk memberi payung hukum yang lebih baik demi perlindungan lingkungan ini sudah dimulai sejak 2005. Sarasehan Taman Nasional Seluruh Indonesia kala itu membentuk Panitia Kerja (Pokja) Konservasi. Kelompok ini bertugas salah satunya untuk mengawal revisi UU 5/1990.

Setelah lebih dari 10 tahun, akhirnya RUU KSDAHE masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas), meski belum prioritas. Baru akhirnya pada 2022, RUU ini menjadi Prolegnas Prioritas dengan nomor urut 4.

Saat ini, status terakhir RUU tersebut dalam tahap pengambilan keputusan atas hasil harmonisasi RUU pada 29 Juni 2022. Rancangan undang-undang tersebut pun menjadi usul inisiatif Komisi IV DPR.

Pada 5 Desember 2022, Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU KSDAHE. Panitia ini dibentuk untuk mengawal jalannya sidang pembahasan RUU dengan pihak pemerintah.

Kabar adanya Panja tersebut tentu saja menjadi angin segar sekaligus rasa syukur bahwa RUU ini masih bernasib baik, tidak dilupakan begitu saja.

Di tengah kegembiraan ini, mungkin ada juga yang belum tahu pentingnya revisi UU 5/1990, dan bertanya, “Kenapa undang-undang ini perlu diperbarui?”.

Selain karena dianggap sudah terlalu tua dan kadaluarsa sehingga perlu disesuaikan dengan situasi saat ini, UU 5/1990 dinilai masih memiliki sejumlah kelemahan dalam hal perlindungan sumber daya hayati pada tingkatan genetik, spesies, dan ekosistem.

Sebagai contoh, UU 5/1990 belum bisa menegakkan hukum untuk melindungi keanekaragaman hayati secara tepat sasaran dan efektif. Pada kasus perdagangan tumbuhan dan satwa liar, misalnya. Undang-undang tersebut belum bisa memberikan efek jera pada pelakunya. Pemberian sanksi yang rendah dan besaran denda yang tidak seberapa atas kejahatan atas sumber daya alam dan ekosistemnya, belum bisa membuat oknum-oknum tersebut kapok. Parahnya lagi, yang mendapat hukum biasanya baru ‘ekornya’.

Atau, kasus yang kembali mencuat: perdagangan ilegal ikan napoleon. Ikan karang berukuran besar ini diselundupkan dalam kotak-kotak styrofoam, berjejalan dengan ikan jenis lain. Nantinya ikan ini dikirim ke luar negeri dan berakhir menjadi semangkuk sup.

Jelas-jelas Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37 Tahun 2013 melindungi ikan napoleon dengan berat lebih dari 3 kilogram. Balai Taman Nasional Wakatobi juga mengeluarkan larangan untuk menangkap dan menjual ikan napoleon dengan ukuran, berat, dan dalam kondisi apapun. Mirisnya lagi, penelitian tahun 2016 menyebutkan bahwa populasi napoleon berstatus kritis.

Menurut Pusat Penelusuran dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), transaksi perdagangan tumbuhan dan satwa liar mencapai lebih dari 13 triliun rupiah per tahun. Nilai tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun, menjadikan perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar menjadi kejahatan urutan ketiga tertinggi nilainya setelah narkoba dan perdagangan manusia.

Namun kembali lagi ke permasalahan yang ada, aturan dalam UU 5/1990 nampaknya belum memberi efek jera. Membuat oknum-oknum tidak kapok melakukan pelanggaran.

Contoh lain kelemahan UU 5/1990 adalah belum adanya pengaturan mengenai pengawetan dan pemanfaatan genetik.

Jika bicara mengenai konservasi keanekaragaman hayati, sumber daya genetik seharusnya menjadi hal yang tidak terpisahkan. Pengaturan mengenai pengawetan sumber daya genetik perlu dilakukan bagi spesies-spesies tumbuhan dan satwa yang terancam punah, dan yang mendapatkan tekanan pemanfaatan baik legal maupun ilegal serta bagi spesies-spesies yang berpotensi untuk menghasilkan varietas unggul.

Pengaturan ini ditujukan untuk menjaga keragaman genetik spesies untuk menurunkan peluang terjadinya kepunahan. Sebab, masa depan umat manusia akan sangat bergantung pada sumber daya genetik. Perubahan iklim global dapat dipastikan mengubah pola suplai pangan dan kesehatan dunia. Tanaman pangan dan hewan ternak yang ada saat ini mungkin tidak dapat bertahan dengan kondisi iklim yang berubah. Varietas-varietas tanaman pangan dan hewan bermutu tinggi yang ada saat ini merupakan hasil dari konservasi genetik yang efektif. Penemuan varietas-varietas baru tanaman pangan dan ternak tentunya akan sangat bergantung pada keanekaragaman genetik tumbuhan dan hewan.

Pengaturan pemanfaatan genetik juga ditujukan untuk menerjemahkan ketentuan-ketentuan internasional, terutama Protokol Nagoya ke dalam legislasi nasional yang memadai, untuk menghentikan praktik-praktik pencurian sumber daya genetik (biopiracy) serta memajukan riset dan teknologi berbasis hayati di tingkat nasional (biosprospecting).

Selain itu, mengutip dari kabar hukumonline.com, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi berpandangan dalam UU 5/1990, aturan mengenai pemanfaatan sumber daya alam masih minimal dan perhatian terhadap partisipasi masyarakat perlu diperkuat di RUU KSDAHE. Sehingga, peran aktif masyarakat dalam penentuan Kawasan Konservasi perlu diperkuat dalam draf RUU KSDAHE. Sebab, ditemukan persoalan dalam penetapan kawasan konservasi ternyata tumpang tindih dengan lokasi yang sudah dihuni masyarakat puluhan tahun. Ironisnya, tidak ada partisipasi aktif masyarakat atas penetapan kawasan. Bahkan pula pemerintah provinsi.

Hal-hal lainnya yang membuat pembaruan terhadap UU 5/1990 menjadi penting di antaranya belum adanya regulasi mengenai perlindungan spesies yang termasuk bukan jenis asli sesuai status konservasinya, pengaturan mengenai spesies yang memiliki risiko invasive, pengaturan mengenai jenis tumbuhan dan satwa liar yang berisiko membawa penyakit, hingga pendanaan berkelanjutan untuk konservasi keanekaragaman hayati.

Saat ini RUU KSDAHE masih berproses di tingkat DPR dan masih harus melewati serangkaian tahapan sebelum akhirnya menjadi Undang-undang. Semoga penyempurnaan UU 5/1990 melalui RUU KSDAHE menjadi regulasi payung hukum bagi konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya di Indonesia.

 

Referensi:

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2022. Seluruh Fraksi Dukung RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem Sebagai RUU Usul DPR. https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/39730/t/Seluruh+Fraksi+Dukung+RUU+Konservasi+Sumber+Daya+Alam+Hayati+dan+Ekosistem+Sebagai+RUU+Usul+DPR (Diakses pada 4 Januari 2023).

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2022. Komisi IV Bentuk Panja RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/42201/t/Komisi+IV+Bentuk+Panja+RUU+Konservasi+Sumber+Daya+Alam+Hayati+dan+Ekosistem (Diakses pada 4 Januari 2023).

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. 2018. Perubahan Undang-undang Konservasi No. 5/90 Harus Mengikuti Arahan Paradigma Baru Konservasi Sumber Daua Alam Hayati dan Ekosistem. https://www.sci.ui.ac.id/perubahan-undang-undang-konservasi-no-590-harus-mengikuti-arahan-paradigma-baru-konservasi-sumber-daya-alam-hayati-dan-ekosistem/ (Diakses pada 4 Januari 2023).

Hidayat, Rofiq. Memetakan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. https://www.hukumonline.com/berita/a/memetakan-ruu-konservasi-sumber-daya-alam-hayati-dan-ekosistemnya-lt631071a359efe/

Pokja Konservasi. 2022. Fokus Topik 2: Perlindungan Sumber Daya Genetik Indonesia.

Salman, Riza. 2022. Perburan Ikan Napoleon: Ditangkap di Wakatobi, Transit di Bali, Jadi Sup di Hongkong (1). https://www.mongabay.co.id/2022/12/16/perburuan-ikan-napoleon-ditangkap-di-wakatobi-transit-di-bali-jadi-sup-di-hongkong-1/ (Diakses pada 4 Januari 2023).

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top