Konsep One Health sebagai Solusi Risiko Zoonosis

Upaya pengendalian risiko zoonosis dapat melalui pendekatan dilakukan kerangka One Health atau “Satu Kesehatan”. Pendekatan ini mengedepankan keterkaitan antara kesehatan manusia, keutuhan satwa liar, dan kesehatan lingkungan sebagai satu kesatuan.

Pendekatan ini mulai banyak digunakan dalam merancang danmenerapkan program, kebijakan, peraturan, dan riset yang melibatkan beberapa sektor dalam berkomunikasi serta bekerjasama guna menghadirkan dampak terbaik terhadap kesehatan masyarakat. Pendekatan One Health mengutamakan kerjasama beberapa sektor dan berbagai disiplin ilmu di tingkat lokal, regional, nasional, dan global.

Pendekatan One Health memerlukan jalinan kerjasama antara parapihak profesional di bidang kesehatan manusia (dokter, perawat, praktisi kesehatan masyarakat, epidemiolog), kesehatan hewan (dokter hewan, para profesional, petugas bidang pertanian), kesehatan lingkungan (ekolog, ahli hidupan liar, konservasionis), dan kebidangan relevan lainnya.

Mempertimbangkan kondisi yang dihadapi saat ini, One Health dipandang sebagai pendekatan yang perlu dikedepankan guna mencegah terjadinya pandemi di masa mendatang.

Berangkat dari hal tersebut, RUU KSDAHE perlu mengatur lebih lanjut penerjemahan kerangka One Health yang belum hadir dalam UU No. 5 Tahun 1990. Penerjemahan kerangka One Health dalam upaya konservasi dapat ditempuh dengan menghadirkan ketentuan terkait medik konservasi dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia dan memerlukan pelibatan multisektor dalam implementasinya. Maka dari itu, RUU KSDAHE perlu mengatur lebih lanjut upaya-upaya medik konservasi yang sebelumnya belum diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990.

Dalam menerapkan pengaturan medik konservasi perlu memperhatikan dua hal penting. Pertama, pencegahan. Ini adalah aspek terpenting dalam reformasi kebijakan terkait penanggulangan penyebaran virus zoonosis. Dalam pencegahan yang perlu diperhatikan adalah pendekatan kehati-hatian (precautionary principle). Kehatihatian tak hanya pada praktek mengatur pemanfaatan satwa liar dan tumbuhan, melainkan juga untuk mengukur risiko penyebaran patogen.

Prinsip kehati-hatian ini sejalan dengan asas atau prinsip yang telah dijabarkan di dalam RUU KSDAHE, di antaranya asaskelestarian, asas keseimbangan dan keserasian, asas kemanfaatan yang berkelanjutan, asas keterpaduan, dan asas kehati-hatian. Oleh karena itu, konservasi dalam revisi UU No. 5 Tahun 1990 seyogianya menggunakan pendekatan holistik sebagai bagian dari pendekatan One Health dan menyebutkan perlunya penerapan nilai konservasi di seluruh sektor.

Patut diapresiasi bahwaDraf RUU KSDAHE saat ini telah memasukkan aspek medik konservasi ke dalam batang tubuh, melalui Pasal 20 ayat 1 dan Pasal 34 ayat 1. Ini merupakan cerminan upaya pencegahan penyebaran virus zoonosis. Ada aturan dalam menetapkan kriteria spesies yang dilindungi dan spesies yang dapat dimanfaatkan, yakni dengan mempertimbangkan aspek potensi penyebaran zoonosis. Pasal 20 ayat 1 menjabarkan kriteria utama penetapan spesies yang dilindungi. Pasal ini juga menjabarkan pelaksanaan medik konservasi sebagai pertimbangan penetapan pengawetan spesies. Sedangkan Pasal 34 ayat 1 memasukkan aspek medik konservasi dalam pelaksanaan pemanfaatan spesies.

Namun masih ada yang masih perlu diperbaiki lagi di situ. Ini terutama pada bagian penjabaran mengenai “medik konservasi” di bagian Penjelasan RUU KSDAHE yang justru kurang jelas. Penjelasan menyeluruh mengenai ruang lingkup ini menjadi penting untuk memastikan bahwa pengawasan dan penerapan medik konservasi kelak dapat diterapkan di sepanjang mata rantai peredaran dan pemanfaatan keanekaragaman hayati, termasuk di sepanjang alur transportasi dan di pintu keluar masuk, sebagai titik-titik yang berpotensi terjadinya transmisi zoonosis.

Selain itu, medik konservasi juga harus berisi penjelasan tentang tindakan penyelamatan, penanganan situasi, pencegahan dan pemulihan akibat kecelakaan satwa liar baik di habitat aslinya (in-situ) seperti terkena jerat, di luar habitat aslinya, maupun dalam rantai transportasi untuk di darat maupun di perairan. Ini untuk memaksimalkan perlindungan bagi tumbuhan dan satwa liar dalam kondisi dan ruang mana pun.

Kedua, kerjasama. Pengaturan pengendalian risiko zoonosis perlu kerjasama lintas sektor dan lintas institusi. Koordinasi yang efektif lintas sektor ini sangat perlu untuk mendukung tercapainya pendekatan One Health, mengingat pengaturan sektor kesehatan manusia, kesehatan satwa dan kesehatan lingkungan di Indonesia berada di bawah institusi berbeda. Dan sayangnya mekanisme kerjasama ini belum tercermin di dalam draf RUU KSDAHE. Untuk itulah, proses revisi RUU KSDAHE ini harus dikawal agar hasilnya nanti benar-benar dapat berfungsi sebagaimana mestinya sebagai sebuah produk hukum yang efektif.

 

Artikel asli dari Warta Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat Edisi Oktober 2022 Konsep One Health sebagai Solusi Risiko Zoonosis.

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top