Pengelolaan Area Konservasi yang Lestari dan Mensejahterakan

PENGELOLAAN AREA KONSERVASI YANG LESTARI DAN MENSEJAHTERAKAN

oleh

Idung Risdiyanto

Staf Pengajar Departemen Meteorologi dan Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Institut Pertanian Bogor (IPB), Jalan Meranti Wing 19 Level 4. Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680

Email: idungris@ipb.ac.id

Pentingkah keberadaan hutan dan keanekaragaman hayati?  Jika ini adalah pertanyaan dalam suatu quisener, maka kemungkinan besar semua orang/responden akan menjawab penting.  Jika ada yang menjawab tidak penting atau tidak tahu, maka setelah diberikan penjelasan sedikit mengenai fungsi hutan dan keanekaragaman hayati, maka hampir dapat dapat dipastikan akan merubah jawabannya menjadi penting.  Nilai dan fungsi penting hutan dan keanekaragaman hayati bahkan telah diajarkan sejak usia dini dalam sistem pendidikan di Indonesia.  Ungkapan-ungkapan seperti ‘Ayo jaga hutan agar tidak banjir dan longsor’, ‘Hutan adalah paru-paru bumi’ sudah sering diperdengarkan.  Jasa hutan dan keanekaragaman hayati yang dapat menopang kehidupan, menyediakan bahan dasar kehidupan, mengatur dan mengendalikan  kehidupan dan sebagai nilai sosial, budaya dan estetika masyarakat telah menempatkannya menjadi bagian penting bagi keberlajutan bumi dan kehidupan.  Namun demikian, paradoks dengan nilai pentingnya, keberadaan hutan dan keanekaragaman hayati terus menurun dalam aspek kuantitas maupun kualitasnya.  Hampir setiap tahun terjadi pengurangan luas hutan (deforestrasi), baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.  Bahkan di beberapa tempat menjadi hilang atau punah. 

Pada periode tahun 1985-1998, laju deforestrasi di Indonesia berkisar 1,6 – 1,8 juta ha/tahun (Dephutbun, 2000). Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1998-1999 menjadi penyumbang luasnya deforestrasi di Indonesia saat itu, sehingga FWI (2020) mencatat pada tahun 2000, laju deforestasi meningkat menjadi sekitar 2 juta/ha.  Menurut KLHK (2020), laju deforestasi sejak orde reformasi hingga saat ini.  Pada periode 2013-2019, rata-rata laju deforestrasi adalah 620 ribu ha/tahun.  Siaran pers KLHK pada bulan Maret 2021 melaporkan bahwa laju deforestrasi mengalami penurunan sampai dengan 75.03% pada periode 2019-2020, dengan luas sekitar 115.46 ribu ha dibanding periode 2018-2019 yang luasnya sekitar 462,46 ribu ha.Hasil ini berbeda dengan dengan yang rilis oleh FWI (2020) yang menunjukkan bahwa sejak tahun 2000 hingga tahun 2017 telah menunjukkan masih tingginya laju deforestasi. Pada rentang tahun 2000-2009, Indonesia kehilangan hutan alam seluas 1,4 juta ha/tahun. Pada periode selanjutnya (2009-2013) luasan hutan alam yang hilang berkurang menjadi 1,1 juta ha/tahun dan kembali naik pada periode 2013-2017 menjadi 1,4 juta ha/tahun.  Perbedaan kedua data ini tidak merubah fakta bahwa luas hutan di Indonesia berkurang, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga telah menjadi fenomena global.

Dalam rangkaian laporan seperti Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystems’ (IPBES, 2019), ‘Living Planet Report’ (WWF, 2020), ‘Global Forest Resources Assessment Report’ (FAO, 2020) dan ‘Global Biodiversity Outlook’ (CBD, 2020) menunjukkan bahwa bumi secara global sedang pada jalur kehilangan satu juta spesies pada pertengahan abad ini.  Sejak tahun 1970 sampai dengan saat ini, laporan-laporan itu menyebutkan bahwa bumi telah kehilangan sekitar 68% dari populasi satwa liar, termasuk kehilangan hutan alam sekitar 11 juta ha pada tahun 2019.  Ilustrasi jalur kepunahan tersebut, penyebab dan upaya mitigasinya digambarkan secara sederhana dalam sebuah kurva yang populer dan disebut dengan ‘Bending the curve of biodiversity loss’.  Atas realita yang terjadi secara global dan khususnya yang terjadi di Indonesia memunculkan pernyataan paradoksal, yaitu jika hutan dan keanekaragaman hayati penting bagi kehidupan, mengapa hilang?

Teori yang berkembang saat ini untuk menjelaskan kehilangan hutan dan keanekaragaman hayati dipicu oleh sedikitnya lima penggerak utama, yaitu (i) habitat loss, (ii) invassive species, (iii) over exploitation, (iv) pollutan, dan (v) perubahan iklim dan pemanasan global (IPBES, 2019).  Ketiga penggerak utama tersebut dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi manusia, peningkatan konsumsi dan penurunan efisiensi produksi.  Berdasarkan lima penggerak utama dan faktor yang mempengaruhinya maka untuk memudahkan menjawab pertanyaan mengapa hutan dan keanekaragaman hayati hilang dalam konteks Indonesia dapat diringkas menjadi tiga yaitu natural driven, human driven dan ecological effect. Dari tiga faktor tersebut, manusia menjadi faktor yang paling berpengaruh.  Umat manusia bergantung pada sistem alam untuk mengatur lingkungan, memelihara bumi, dan menghasilkan makanan. Namun, secara paradoks, cara manusia memproduksi makanan selama 50 tahun terakhir telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati yang cepat (Benton et al, 2021).  Selain makanan, pemenuhan kebutuhan kehidupan manusia yang diproduksi dari sumberdaya alam secara tidak efisien dan efektif juga juga menjadi penyebab kehilangan hutan dan keanekaragaman hayati.

Konservasi untuk mempertahankan, melindungi dan mencegah kerusakan serta kehilangan hutan di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan.  Namun demikian kehilangan tetap terjadi.  Hal ini menunjukkan bahwa ada ‘sesuatu’ yang selama ini luput dari paradigma, kebijakan dan implementasi konservasi.

Paradigma konservasi yang berkembang di Indonesia pada saat ini lebih menekankan pada aspek pelestarian, perlindungan dan pengawetan, walaupun dalam UU no 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan UU 32 tahun 2009 tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan ada penekanan pada aspek manfaat, yaitu “Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya”.  Paradigma tersebut muncul atas persepsi dan pemahaman yang berkembang dari UU 41 tahun 1999 yang mendefinisikan “hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya”.  Atas persepsi dan pemahaman tersebut, maka peraturan turunan yang berkaitan dengan konservasi terjebak pada pelestarian, perlindungan dan pengawetan.  Akibat paradigma ini, maka hutan dan keanekaragaman hayati seolah-olah menjadi benda pajangan, terutama pada hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi (kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, taman buru) dan hutan lindung.  Peraturan-peraturan turunan yang berkaitan konservasi tersebut kemudian juga merambah areal kawasan hutan produksi, bahkan juga area diluar kawasan hutan.  Hal ini kemudian menyebabkan suatu keadaan dimana pemanfaatan atau pemanenan di areal konservasi adalah tindakan ilegal dan atau melanggar hukum, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.  Persepsi manusia terhadap benda pajangan atau klangenan (dalam bahasa jawa) pada umumnya akan disingkirkan jika dikemudian hari tidak mendatangkan manfaat, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan tersebut.

Paradigma tersebut diatas juga mempengaruhi sistem pendidikan, terutama dalam bidang kehutanan dan konservasi.  Sistem pendidikan konservasi kemudian menjadi berkutat pada aspek-aspek identifikasi, medapatkan temuan spesies baru, mempelajari perilaku satwa dan tumbuhan liar dan bagaimana cara melindungi dan mengawetkannya.  Hingga saat ini, hasil-hasil penelitian dalam penerbitan ilmiah menunjukkan bahwa aspek-aspek tersebut masih lebih dominan dibandingkan dengan aspek pemanfaatan.  Pada beberapa kasus penelitian tentang pemanfaatan hutan dan keanekaragaman hayati selalu dibayangi dengan asumsi dan kecemasan akan terjadinya over exploitation. Hal ini mengakibatkan manfaat-manfaat dari konservasi hutan dan keanekaragaman hayati menjadi sulit untuk dipahami dan dianggap sebagai bagian terpisah dari konservasi itu sendiri.

Pada umumnya, kebijakan dan peraturan tentang kehutanan dan konservasi belum sepenuhnya dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat. Banyaknya peraturan tentang kehutanan bukan merupakan hal yang sederhana untuk dapat dipahami dengan baik.  Jika UU terkait seperti yang disebutkan diatas menimbulkan persepsi yang berbeda, maka peraturan turunannya juga akan menghasilkan yang sama.  Sudah jamak dalam sistem peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia, khususnya tentang kehutanan, lebih menekankan pada larangan, persyaratan dan sanksi.  Sedikit sekali peraturan-peraturan yang menjelaskan manfaat yang dapat diperoleh oleh masyarakat, baik manfaat langsung maupun tidak langsung.  Bagi pengampuh peraturan, paling mudah menjelaskan kepada masyarakat adalah dengan menyampaikan ‘tidak boleh ini dan itu’.  Situasi ini semakin menjauhkan masyarakat dengan konservasi, terutama bagi masyarakat di sekitar kawasan konservasi.  Sebagai akibatnya, keberadaan area konservasi semakin terancam dan dapat terdegradasi/hilang karena tidak dapat memberikan manfaat.

Atas situasi ini, maka perlu dilakukan beberapa perubahan cara pandang dan tindakan terhadap pengelolaan konservasi hutan dan keanekaragaman hayati di Indonesia.  Antara lain adalah:

  • Mengembangkan paradigma konservasi yang memposisikan hutan dan keanekaragaman hayati adalah aset ekonomi bangsa yang dapat dikelola secara lestari untuk memberikan manfaat kesejahteran bagi masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung.
  • Melakukan valuasi ekonomi terhadap hutan dan biodiversitas. Valuasi ekonomi yang dikembangkan tidak lagi hanya terhadap ‘nilai warisan’ dan ‘nilai keberadaan’ yang menyebabkan konservasi menjadi terkunci pada gerakan moral dan charity yang memerlukan pembiayaan.  Aspek manfaat harus dimasukkan dalam valuasi ekonomi, sehingga dapat dikelola dan menjadi sumber pendapatan yang mensejahterakan.  Aspek manfaat yang dimaksud dalam hal ini adalah manfaat dari keberadaan keanekaragaman hayati dalam kawasan hutan konservasi yang dapat dipanen secara lestari.  Pemanenan ini tentunya harus melalui kajian-kajian seperti daya dukung dan daya tampung habitat dan viable population.
  • Melakukan sinkronisasi dan penyederhanaan perundangan dan peraturan tentang pemanfaatan/pemanenan keanekaragaman hayati yang dapat mencerminkan aspek kelestarian. Misalnya, dalam menentukan kuota panen kayu yang selama ini berbasis pada kubikasi persatuan hektar, diubah menjadi jenis/ha dengan syarat ukuran jenis kayu dengan diameter diatas 35 up.
  • Mengembangkan mekanisme penentuan status konservasi species dengan menekankan pada aspek ‘locallity’. Selama ini status konservasi species di Indonesia berlaku generik untuk seluruah lokasi, sehingga jika di suatu kawasan konservasi terjadi over populasi spesies tetap dilarang untuk untuk dimanfaatkan.
  • Memposisikan masyarakat di sekitar area konservasi sebagai pelaku utama dan diberikan akses untuk memanfaatkan area konservasi secara lestari, mensejahterakan, dan bertanggung jawab dengan tetap menjamin kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati di dalam kawasan tersebut.
  • Meningkatkan kompetensi pelaku konservasi yang saat ini secara umum belum mampu mengkapitalisasi keanekaragaman hayati sehingga dapat memberikan kesejahteraan masyarakat secara lestari. Peningkatan kompetensi ini dilakukan dengan cara perbaikan terus menerus terhadap pendidikan konservasi, sehingga dapat menghasilkan pelaku-pelaku eco-sosio-entepreneur yang dapat mengelola area konservasi sebagai sumber kesejahteraan.

Daftar Pustaka

Benton TG, Bieg C, Harwartt H, Pudasaini R, and Wellesley L. 2021. Food system impact on biodiversity loss-Three levers for foof system transformation in support of nature (research paper). Chatham House, the Royal Institute of International Affairs. London.

FAO. 2020. Global Forest Resources Assessment 2020: Main report. Rome.

FWI 2020. Jalan Deforestasi Indonesia. https://fwi.or.id/publikasi/jalan-deforestasi-indonesia (diakses 6 Maret 2021)

IPBES. 2019. Summary for policymakers of the global assessment report on biodiversity and ecosystem services of the Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services. IPBES secretariat, Bonn, Germany. 56 pages.

KLHK. 2021. Siaran Pers Nomor: SP. 062/HUMAS/PP/HMS.3/3/202. https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3645/laju-deforestasi-indonesia-turun-75-03# (diakses 5 April 2021)

Secretariat of the Convention on Biological Diversity (CBD). 2020. Global Biodiversity Outlook 5 – Summary for Policy Makers. Montréal.

WWF. 2020. Living Planet Report. https://livingplanet.panda.org/en-us/ (diakses 6 Maret 2021)

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top