Kebutuhan Tanpa Batas dan Etika Keadilan

KEBUTUHAN TANPA BATAS DAN ETIKA KEADILAN

oleh

Idung Risdiyanto

Staf Pengajar Departemen Meteorologi dan Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Institut Pertanian Bogor (IPB), Jalan Meranti Wing 19 Level 4. Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680

Email: idungris@ipb.ac.id

Kerusakan dan degradasi lingkungan telah menjadi isu global dan menjadi perhatian para pihak. Salah satu isu global adalah perubahan iklim dan penyakit global.  Kedua isu tersebut telah mempengaruhi seluruh sendi kehidupan manusia.  Bermacam teori terhadap kedua isu tersebut telah mengisi ruang-ruang diskusi dan perdebatan pada berbagai macam ranah ilmu pengetahuan dan sektor kehidupan manusia.  Tidak ada satupun sektor yang tidak dipengaruhi oleh kedua isu tersebut.  Bermacam ahli dari hampir seluruh disiplin ilmu telah menghasilkan teori-teori yang menjelaskan hubungan sebab dan akibat isu-isu global yang terjadi pada saat ini.  Sebagian besar dari teori-teori tersebut pada ujungnya bermuara pada hubungan populasi manusia dengan keterbatasan sumberdaya alam yang dapat mendukung kehidupan manusia.  Seolah membenarkan pernyataan kebutuhan manusia adalah tidak terbatas.

IPTEK dan Kebutuhan tanpa batas

Usaha-usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dan pola hidupnya disinyalir kuat sebagai salah satu penyebab kerusakan dan degradasi lingkungan.  Ekstraksi sumberdaya alam untuk memenuhinya telah dilakukan secara berlebihan dan di luar batas kemampuan dan daya dukung alam itu sendiri.  Ini yang menjadi salah satu alasan linear bahwa kerusakan alam ini disebabkan oleh populasi yang terus meningkat.  Sebagai solusi untuk memperbaiki dan mencegah kerusakan alam yang terus berlanjut, maka berdasarkan teori ini harus ada usaha-usaha untuk mengendalikan populasi manusia.  Hal ini kemudian memunculkan teori-teori konspirasi dengan kebenaran yang sulit dibuktikan.  Misalnya tentang pemusnahan massal baik melalui penyakit, perang dan bencana.  Seiring dengan teori ini, juga berkembang ide-ide pesimistik yang kemudian memunculkan keraguan atas harapan keberlanjutan hidup manusia.  Sebagai dampaknya, manusia menjadi berlomba-lomba untuk mengembangkan pengetahuan dan teknologi baru dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya dan mempertahankan keberlanjutannya.  Di sisi lainnya, sebagai akibat dari perkembangan pengetahuan dan teknologi baru tersebut kembali berakibat pada ekstraksi sumberdaya alam yang baru.  Hal ini kemudian menjadi suatu lingkaran yang tiada ujung.

Bagaimana jika tidak ada perkembangan ilmu dan teknologi? Narasi yang sering dibangun untuk membenarkan perkembangan teknologi adalah untuk memudahkan kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhannya.  Ilmu dan teknologi juga berkembang untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul sebagai akibat usaha pemenuhan kebutuhan hidup tersebut. Paradoksnya adalah penggunaan teknologi tersebut kemudian menjadi alasan untuk  ekstraksi sumberdaya alam yang cenderung bersifat merusak.  Pertanyaan di awal paragraf ini dapat dijawab dengan pertanyaan juga, Apakah keberadaan, perubahan dan peningkatan kebutuhan manusia karena terciptanya ilmu dan teknologi baru?  Kemudian pertanyaan lainnya adalah, Apakah kerusakan dan degradasi lingkungan karena terciptanya teknologi baru? Pertanyaan-pertanyaan ini seolah memposisikan ilmu dan teknologi sebagai biang keladi dari seluruh persoalan lingkungan, namun yang lebih penting lagi adalah Siapa yang menggunakan ilmu dan teknologi tersebut?  Tentu jawabannya adalah manusia itu sendiri.

Sebagai ilustrasi adalah perkembangan teknologi digital dan industri 4.0.  Teknologi ini telah merambah seluruh sektor kehidupan manusia, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti urusan pangan.  Perkembangan teknologi tersebut sangat tergantung dan membutuhkan sumber energi (listrik) untuk meggerakannya dan sumberdaya mineral untuk perangkatnya. Kedua sumberdaya tersebut tetap diambil dari alam. Meskipun saat ini ada narasi pembenaran bahwa teknologi semakin efisien dan semakin ramah terhadap lingkungan, tetap tidak bisa terlepas dari sumberdaya alam.  Misalnya, komponen baterei yang diandalkan untuk menyimpan daya listrik bagi keberlangsungan teknologi digital, bahan-bahan pembentuknya pun tetap diambil dari alam.  Selain itu, hingga saat ini untuk memenuhi kebutuhan listrik masih didominasi dengan sumber-sumber energi tidak terbarukan seperti bahan bakar fosil. Hal ini berarti bumi akan terus diperas untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus berkembangan dengan kemajuan ilmu dan teknologinya.

Ilmu dan teknologi telah merubah orientasi dan tujuan hidup manusia.  Perubahan tersebut juga merubah cara pandang dan relasi manusia dengan alam.  Dampak yang diharapkan dari perubahan tersebut tentunya adalah kualitas hidup yang baik bagi seluruh mahluk dan lingkungan. Namun, banyak pendapat ahli yang menyebutkan bahwa keadaan alam dan lingkungan semakin buruk. Hal ini mendorong penyelenggaraan KTT Bumi yang pertama kali dilakukan tahun 1992 di Rio de Jeneiro, Brazil.  KTT ini sebelumnya didahului dengan konferensi internasional PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nations Conference in The Human Environtment) di Stockholm, Swedia tahun 1972.  Pasca KTT bumi banyak digelar pertemuan global penting berkenaan dengan lingkungan hidup seperti Earth Summit+5 tahun 1997 di New York, Amerika Serikat, yang menghasilkan Tujuan Pembangunan Milenium (Milenium Development Goals), KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) tahun 2002 di Johanesburg, Afrika Selatan, dan yang terakhir Rio+20 pada tahun 2012 di Rio de Jeneiro, Brasil. Selain itu juga KTT global berkaitan dengan isu-isu perubahan iklim global yang diselenggarakan setiap tahun. Dalam setiap penyelenggaraannya, salah satu isu yang secara konsisten dibahas adalah isu keadilan dan kesetaraan bagi seluruh penduduk dunia yang tinggal di satu bumi yang sama (The Only One Earth)[1]

Keadilaan dan pertumbuhan

Prinsip keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam dapat dikategorikan menjadi keadilan antargenerasi dan keadilan intra generasi.  Keadilan antar generasi bermakna bahwa masyarakat harus harus melestarikan dan menggunakan lingkungan serta sumber daya alam bagi kebermanfaatan generasi sekarang dan yang akan datang. Sementara, prinsip keadilan intragenerasi bermakna masyarakat dan tuntuan kehidupan lain dalam satu generasi memiliki hak untuk memanfaatkan sumber alam dan menikmati lingkungan yang bersih dan sehat dalam arti pengelolaan yang diterapkan dalam akses yang adil kepada sumber daya alam bersama, udara bersih, air bersih dalam sumber daya air nasional dan laut territorial.  Dalam konteks kehidupan berbangsa, maka negara harus dapat menjamin prinsip-prinsip keadilan tersebut.

Dalam konteks Indonesia, isu keadilan ini masih menjadi perdebatan yang tiada penyelesaian. Mengutip dari katadata.com (2017), 49.3% kekayaan nasional dikuasai oleh 1% penduduk, dan 75.7% jika dinaikkan menjadi 10%  penduduk orang terkaya.  Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar kekayaan tersebut dihimpun dari pemanfaatan sumberdaya alam.  Keadaan ini dinilai oleh ahli-ahli ekonomi sebagai permasalahan serius dalam sistem perekonomian nasional. Jargon pertumbuhan ekonomi yang hingga saat ini dipertahankan dalam setiap periode pemerintahan, telah terbukti menghasilkan realita tersebut.  Pertumbuhan telah menjadi mental dasar pembangunan di Indonesia.  Keberhasilan pembangunan selalu diukur dari angka-angka pertumbuhan. Dorongan atas pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan ekstraksi sumberdaya alam dan realitanya hanya terkumpul pada segelintir penduduk.  Sementara itu, penduduk yang tinggal di daerah-daerah sumberdaya alam belum mendapatkan hasil yang seimbang dengan dampak negatif yang dihasilkan.

Mental pertumbuhan ini tidak hanya menghasilkan ketimpangan kesejahteraan, melainkan juga menghasilkan mental pelayan dan konsumen.  Sebagai ilustrasi, prioritas produksi suatu komoditas adalah untuk diekspor.  Bukan hal aneh di Indonesia, jika komoditas dalam negeri dengan kualitas terbaik adalah untuk ekspor, sedangkan untuk penggunaan sendiri adalah komoditas dengan kualitas seadanya.  Ekstraksi sumberdaya alam dilakukan untuk memberikan pelayanan atas kebutuhan penduduk di luar di negeri.  Bumi digali, hutan ditebang, hasil laut terus dikuras, tanah terus diracuni, sebagian besar dijual untuk memenuhi kebutuhan penduduk di luar negeri.  Apakah kita pernah menghitung, berapa sebenarnya kebutuhan sesungguhnya untuk memenuhi kebutuhan penduduk di negara ini?  Di sisi lainnya, hasil-hasil penjualan tersebut kemudian digunakan untuk belanja teknologi yang tidak terbatas.  Memiliki teknologi yang sama dipersepsikan bahwa bangsa ini setara dengan bangsa lain. Demikianlah ini terus terjadi sampai saat ini, mungkin hingga bangsa ini sudah dianggap sebagai “bangsa unggul” dan setiap elemennya berkelas dunia. Apakah ini perlu?

Penutup

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi faktor yang mendorong peningkatan jumlah dan keragaman kebutuhan manusia, yang seluruhnya dipenuhi oleh sumberdaya alam.  Pertumbuhan ekonomi terus didorong untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yang salah satu dampaknya adalah kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial.  Realita ini menunjukkan bahwa keadilan yang mensejahterakan tidak bisa diwujudkan dengan pertumbuhan ekonomi yang diperoleh ekstraksi sumberdaya alam.  Pertumbuhan ekonomi justru menjadi penyebab dari kerusakan alam dan lingkungan.  Perlu ada paradigma baru tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang mensejahterakan. Pendekatan-pendekatan yang dapat dipertimbangkan adalah (i) kecukupan dan manfaat yang adil sesuai dengan peran dan kemampuan setiap manusia dalam kehidupan, (ii) Penggunaan ilmu dan teknologi yang bijaksana dan tidak berlebihan, dan (iii) Kesadaran untuk berkeadilan antar dan intra generasi perlu dibangun sebagai suatu nilai etika setiap insan manusia untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam.

Pustaka

https://databoks.katadata.co.id/datapublish (diakses, 1 Januari 2021)

 

[1] motto “hanya ada satu bumi” (The Only One Earth) dikenalkan dalam konferensi internasional PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nations Conference in The Human Environtment) di Stockholm, Swedia tahun 1972. untuk memperkenalkan pentingnya menjaga lingkungan bagi penduduk dunia.

 

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top